Ilustrasi remaja yang merasa terpuruk. (Freepik)
Ilustrasi remaja yang merasa terpuruk. (Freepik)
KOMENTAR

MENGALAMI peristiwa traumatis adalah hal yang bisa terjadi pada siapa saja—baik karena bencana alam, kecelakaan, kekerasan, atau kehilangan orang tercinta. Peristiwa seperti ini bisa mengguncang secara emosional, psikologis, dan fisik, hingga mengganggu kemampuan seseorang untuk menjalani hidup sehari-hari dengan normal.

Remaja adalah kelompok usia yang sangat rentan terhadap dampak trauma. Berbeda dengan anak kecil yang bergantung penuh pada keluarga, remaja sering mencari penghiburan dan dukungan dari teman sebaya mereka. Karena itu, penting bagi orang tua untuk memahami cara unik remaja dalam mengelola tekanan dan emosi.

Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah menjaga komunikasi yang terbuka. Ketika peristiwa traumatis menjadi topik hangat di sekolah atau media sosial, ciptakan ruang aman di rumah untuk membicarakannya. Tunjukkan bahwa tak apa-apa merasa sedih, marah, atau bingung.

Tanyakan kabar mereka, dengarkan tanpa menghakimi, dan bagikan juga perasaan kita sebagai orang tua. Ini bisa menjadi momen untuk saling menguatkan sebagai keluarga.

Remaja perlu tahu bahwa reaksi mereka adalah normal. Ketakutan, kecemasan, atau bahkan pemberontakan bisa jadi cara mereka memproses rasa tidak aman yang baru mereka alami. Beri mereka waktu dan ruang untuk pulih. Jangan buru-buru memperbaiki atau mengatur perasaan mereka. Sebaliknya, bantu mereka melihat bahwa di balik setiap peristiwa buruk, masih ada banyak orang baik yang peduli dan ingin membantu.

Kurangi paparan media yang bisa memperburuk stres mereka. Arahkan mereka untuk mencari informasi dari sumber yang benar dan positif. Yang terpenting, yakinkan mereka bahwa mereka tidak sendirian.

Trauma memang meninggalkan luka. Tapi dengan dukungan, cinta, dan pengertian, luka itu bisa menjadi awal dari tumbuhnya kekuatan dan ketangguhan baru dalam diri mereka.

Pahami dan bersabarlah dengan anak remaja

Bagi anak remaja, trauma membuatnya mengalami emosi yang kuat dan terkadang sulit seperti suasana hati yang buruk dan kepekaan, saat mereka pulih.

Dikutip dari Better Health, kita sebagai orang tua dapat memberi sedikit kelonggaran bagi anak remaja setelah mereka mengalami peristiwa traumatis.

Anak remaja mungkin menjadi pemberontak. Ini mencerminkan kebutuhan mereka untuk menegaskan kendali atas hidup mereka. Akan membantu jika kita duduk bersama dan merundingkan cara-cara agar anak dapat dengan aman 'menjalani hidup mereka sendiri' sambil tetap mematuhi peraturan rumah.

Anak remaja mungkin marah dengan keluarga atau dengan orang-orang yang mereka salahkan atas kejadian tersebut atau bahkan dengan dunia secara umum. Cobalah untuk tidak berdebat tentang sudut pandang mereka. Perasaan mereka adalah bagian dari reaksi tertekan mereka dan mereka memiliki hak untuk mengekspresikan diri mereka sendiri.

Anak remaja mungkin tampak tidak menginginkan dukungan orang tuanya. Mereka mungkin beralih ke teman-teman sebagai gantinya, setidaknya dalam jangka pendek. Jaga jalur komunikasi tetap terbuka. Beri tahu anak bahwa kita selalu siap dan tersedia untuk berbicara.

Anak remaja mungkin menjadi sangat bergantung. Berikan mereka banyak cinta dan keyakinan. Ingatlah, anak remaja adalah orang yang sama seperti sebelum kejadian tersebut, meskipun mereka tampak berbeda.

Jika ditanya, beri tahu anak tersebut dengan lembut bahwa mereka memiliki reaksi yang 'normal' terhadap pengalaman yang menakutkan dan bahwa seiring berjalannya waktu, reaksi yang sangat kuat ini akan mereda.




Adolescence, Tantangan Besar bagi Orang Tua Membuat Anak Nyaman dengan Dirinya Sendiri

Sebelumnya

Bergeser ke Jadwal Normal, Ini Cara Mengembalikan Pola Tidur Anak Setelah Libur Lebaran

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Parenting