KOMENTAR

 

MENGIBARATKAN dirinya bak mendapat lotere. Tak bisa ditebak, tak bisa diduga. ‘Lotere’ berupa penyakit kanker itu dianggap sebagai anugerah luar biasa dari Yang Kuasa. Anugerah yang membuat seorang hamba berserah diri pada Penciptanya, bersyukur, sekaligus berikhtiar tanpa lelah untuk lepas dari penderitaan.

Mengapa Saya?

Ina Sumantri adalah sosok perempuan yang menjalani hidup sehat. Gaya hidup teratur, pola makan seimbang, dan olahraga menjadi hal yang rutin dijalankan. Salah satu olahraga yang menjadi kegemaran Ina adalah berenang. Suatu hari, ia berenang di rumah sang adik yang kebetulan sedang kosong. Ia ingin berenang dengan bebas, tidak harus mengenakan pakaian renang berhijab dan bisa berlama-lama memanjakan diri di kolam renang. Saat membersihkan diri kamar mandi, ia merasakan ada yang mengganjal di permukaan payudara kiri dan bentuknya menonjol. Namun, kala itu ia tidak merasakan sakit sedikitpun.

Karena penasaran, ia lantas memeriksakannya ke dokter keluarga. Sang dokter kemudian menyarankan Ina untuk memeriksakan diri ke dokter spesialis onkologi. Atas saran dari sahabat anaknya, Ina kemudian mendatangi seorang profesor di salah satu rumah sakit di Jakarta. Saat itu, sang profesor hanya melakukan pemeriksaan dengan perabaan, tanpa menjalani prosedur pemeriksaan lain. Betapa terkejutnya Ina ketika sang profesor mengatakan, “Itu jelek, harus segera diangkat.”

Ina yang kala itu ditemani sang suami merasa amat syok. “Bagaimana mungkin hanya dengan diraba bisa didiagnosis untuk segera diangkat?” kenang Ina.

Ia dan suami tak lantas percaya. Sang suami memintanya untuk melakukan cek USG 4 dimensi. Ternyata sudah terlihat seperti kanker meskipun dokter tidak langsung mengatakan itu kanker.

Saat itu Ina masih yakin dan berpikiran positif bahwa sesuatu yang muncul itu bukanlah sesuatu yang membahayakan. Akhirnya ia dan suami memutuskan untuk mencari second opinion dengan berobat ke Singapura. Di sana, Ina ditangani oleh dokter perempuan, seorang profesor kepala pusat kanker. Dua minggu setelah dilakukan biopsi—pengambilan jaringan tubuh untuk pemeriksaan jaringan—Ina kembali lagi ke Singapura untuk melihat hasilnya.

Ketika dinyatakan hasilnya positif kanker payudara stadium 2A, Ina pun lunglai. Ia merasa terpuruk. Ia tak habis pikir, bagaimana ia yang selama ini sudah menjalankan pola hidup sehat bisa terkena kanker. Ia rutin berolah raga, mengonsumsi jus buah dengan kandungan antioksidan tinggi, dan sudah dua tahun terakhir ia membatasi asupan karbohidrat dan gula ke tubuhnya. Pertanyaan “mengapa saya bisa terkena kanker” sempat memenuhi pikirannya selama beberapa waktu.

Sang profesor menyarankan Ina untuk menjalani operasi pengangkatan payudara (mastektomi). Tapi ternyata, rumah sakit tempat ia berkonsultasi itu tergolong kecil. Alat-alatnya kurang memadai dan belum terbiasa menangani pasien dari luar negeri. Karena itu, prosedurnya cukup berbelit-belit. Belum lagi pemulihannya membutuhkan waktu lama. “Nggak mungkin suami saya menunggu selama itu karena dia harus kembali bekerja,” kata Ina.

Tak hanya soal lamanya waktu, soal biaya pun menimbulkan ketakutan tersendiri bagi Ina dan suami. Membayangkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk biaya hidup di Singapura membuat Ina dan suami bertambah lemas.

Menguatkan Diri

Tidak puas dengan hasil diagnosis profesor tersebut, suami Ina menyarankan untuk mencari pendapat dokter lain yang ada di Singapura. Salah seorang sahabatnya yang memiliki istri pengidap kanker payudara merekomendasikan satu nama. Ina yang merasa teramat lelah, awalnya menolak untuk pindah rumah sakit. Namun sang suami berhasil membujuknya untuk mendapat opsi lain.

It’s not too bad. Pernyataan dokter tersebut membuat Ina dan suami merasa lebih lega. Meskipun hasilnya dinyatakan memang positif kanker payudara, masih ada secercah harapan di sana. Ternyata, ada tiga titik di tempat lain yang juga dicurigai sebagai kanker. Dokter pun tetap menyarankan untuk pengangkatan payudara. Ia bahkan menawarkan Ina untuk rekonstruksi payudara pascaoperasi. Namun Ina menolaknya. Ia memilih merelakan jika payudaranya harus diangkat.

Alhamdulillah, tiga titik yang dicurigai kanker ternyata hasilnya negatif dan posisinya tidak mengkhawatirkan. Karena itu, Ina hanya menjalani bedah Lumpektomi, yaitu operasi pengangkatan bagian diskrit atau benjolan payudara, juga pengangkatan tujuh titik getah bening di lengan kirinya.

Biasanya kanker payudara terpicu oleh hormon-hormon perempuan seperti estrogen, progesteron, dan HER2. Sementara yang dialami Ina, tiga faktor pencetus itu semua hasilnya negatif. Sehingga Ina dinyatakan mengidap kanker payudara triple-negatif.

Yang perlu diketahui dari kanker payudara triple-negatif adalah: cenderung lebih agresif daripada jenis kanker payudara lainnya; cenderung lebih tinggi tingkatannya dari jenis kanker lainnya. Umumnya merupakan tipe sel yang disebut “basal-like” yang berarti sel-selnya menyerupai sel-sel basal yang melapisi saluran payudara.

Kanker triple-negatif inilah yang mengharuskan Ina menjalani kemoterapi sebanyak delapan kali dan radioterapi (terapi radiasi) sebanyak 25 kali. Kemoterapi merupakan prosedur yang paling ditakuti oleh penderita kanker, karena efek samping yang dirasakan berbeda-beda seperti mual, muntah, pusing, tidak nafsu makan, rambut rontok, dan masih banyak lagi.

“Saya sempat drop ketika pertama kali menjalani kemoterapi. Saya tidak bisa makan, lidah rasanya seperti menelan logam. Namun karena badan saya harus kuat menjalani kemo, akhirnya saya memaksakan diri untuk makan. Bagaimanapun juga, kondisi tubuh harus fit selama menjalani kemoterapi. Saat itu berat badan saya sempat naik,” tutur ibu dua anak ini.

 

 


Bersyukur dan Berbagi

Satu hal yang menguatkannya adalah suster pernah menyatakan bahwa wajah Ina tidak terlihat nelongso seperti pasien-pasien lain yang menjalani kemoterapi. Suster itu menduga bahwa Ina selama ini menjalankan hidup sehat. Ternyata antioksidan tinggi dari jus buah nanas dan jus kulit manggis yang selama ini dikonsumsi membuat tubuh Ina lebih kuat menjalani proses kemoterapi. Sungguh berbeda dengan kebanyakan pasien kanker yang merasa sangat kesakitan saat dan sesudah kemoterapi.

Tentang penyakit kanker yang ia derita, Ina mengingat perkataan seorang sahabatnya, “anggap saja kita mendapat lotere”. Kita tidak pernah mengharap mendapatkan lotere, tetapi kapanpun ada kemungkinan mendapatkannya. Itulah takdir. ‘Lotere’ berupa kanker ini membuat Ina berusaha menerima takdir Sang Kuasa dengan ikhlas. “Saya yakin, semua pasti ada hikmahnya. Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya. Saya selalu memotivasi diri saya untuk tidak khawatir, don’t worry… be happy. Masih banyak jalan menuju Roma. Ada banyak ikhtiar menuju kesembuhan,” kata Ina sambil tersenyum.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women