KOMENTAR

KEMUNCULAN Ibu Profesional sebagai sebuah wadah belajar dan komunitas para ibu urban terbilang fenomenal. Dalam kurun delapan tahun, Ibu Profesional sukses melebarkan sayap di 57 kota di Indonesia dan 10 negara di Asia, Amerika, Eropa, dan Uni Emirat Arab. Dengan jumlah anggota 21.500 perempuan, apa yang dilakukan Ibu Profesional tentulah mulai terlihat dampak positifnya di masyarakat.

Yang membanggakan, kiprah Ibu Profesional mendapat perhatian khusus dari Facebook. Ibu Profesional terpilih menjadi satu dari 115 komunitas di dunia yang mendapat pendampingan selama 9 bulan untuk meningkatkan power dan impact Ibu Profesional agar berdampak global. Sang Founder, Septi Peni Wulandani yang baru pulang dari Amerika menceritakan tentang semangat, perkembangan, dan cita-cita Ibu Profesional di masa depan.

F: Bagaimana menjalankan kegiatan Ibu Profesional (IP) di luar negeri?

SPW: IP di luar negeri sudah terbentuk sejak tahun 2015. Kini ada di Malaysia, Singapura, Korea, Jepang, di kota-kota besar di Eropa, Amerika, dan UEA. Keaktifan meet up secara fisik memang kurang disebabkan perbedaan jarak yang jauh.Kondisi tersebut kemudian disiasati dengan membuat whatsapp group per area, agar kegiatan online bisa berjalan lebih efektif. Adapun materi yang dibahas berasal dari tim nasional, sesuai kurikulum IP. Nanti teman-teman bisa melakukan enrichment sesuai tema yang dibahas, mencari pengalaman orang-orang yang sudah sukses dalam hal tersebut.

F: Apa bentuk pendampingan Facebook untuk IP?

SPW: Di Amerika, saya dipertemukan dengan Founder komunitas yang bergerak di bidang pendidikan ibu, anak, dan keluarga dari seluruh dunia untuk sharing session. Mulai Januari hingga September 2019, IP mendapat one in one consulting dari Facebook. Ada konsultan yang membantu kami mewujudkan mimpi kami. Ini benar-benar di luar dugaan saya. Ternyata, perkembangan IP sudah sampai di tahap ini.

F: Pernahkah Ibu membayangkan IP akan menjadi sebesar sekarang?

SPW: Tidak pernah. Karena dulu, konsep IP dibuat untuk keluarga saya. Saya merasa harus mampu memantaskan diri untuk menjadi seorang ibu untuk mendapat anugerah anak yang hebat. Karena, bagaimana saya akan memiliki anak hebat jika saya sendiri tidak merasa diri saya hebat?

Ibu Rumah Tangga memiliki stereotip pengangguran, tidak punya pekerjaan, dan tidak dicita-citakan. Saya lantas berpikir, karena saya memilih menjadi ibu rumah tangga secara sadar, dengan melepas status PNS, maka ini harus menjadi pilihan yang tidak boleh disia-siakan. Maka saya pun bertekad “saya harus selesai dengan diri saya” dan meningkatkan kualitas diri saya. Jangan sampai nanti Allah menganugerahi anak berkualitas bagus tapi saya tidak siap sebagai ibu.

F: Apa maksud kalimat “harus selesai dengan diri sendiri”?

SPW: Ibu harus menerima kondisi dirinya, nyaman dengan posisi dirinya. Tidak boleh menyalahkan keadaan atau orang lain. Misalnya saja, ibu merasa gara-gara punya anak lantas tidak bisa mengejar cita-citanya. Sehingga, saat berproses menjadi ibu, ia cenderung menyalahkan orang lain. Karena itulah, ibu harus mampu berdamai dengan dirinya sendiri.

F: Bagaimana Ibu menyusun materi kurikulum IP?

SPW: Saya berproses selama delapan tahun. Bagaimana beradaptasi dengan pasangan hingga kemudian kami menjadi satu tim, itu semua menjadi kurikulum IP. Saya selalu mengatakan bahwa saya tidak memberi teori, tetapi berdasar apa yang sudah saya kerjakan. Jika banyak ibu memiliki masalah yang sama dengan saya, maka ibaratnya saya sudah punya ‘kunci jawaban’ agar teman-teman tidak perlu menunggu delapan tahun untuk bisa menjadi ibu yang profesional. Bahkan untuk para lajang yang belum menikah, bisa lebih cepat memahami, hingga nanti tidak ada istilah si sulung menjadi korban kefakiran ilmu ayah ibunya.

F: Seperti apa sesungguhnya sosok ibu yang profesional?

SPW: Ibu profesional adalah ibu yang bersungguh-sungguh menjalankan perannya dan kemudian bisa produktif. Arti produktif ini tidak semata diukur secara finansial, tapi juga dari karya. Ibu harus percaya diri, entah itu bekerja di ranah publik atau ranah domestik. Yang berada di ranah publik, harus mampu menyamakan kontribusinya di ranah domestik. Demikian jika ibu memilih mendidik anak dengan sungguh-sungguh di ranah domestik, kelak bisa masuk ke ranah publik. Jadi nanti tidak ada masalah jika karir ibu makin tinggi, anak-anak tetap baik.

F: Apakah Ibu masih terlibat langsung dengan IP?

SPW: Masa inkubasi saya 3 tahun, lalu di tahun ketiga hingga kelima, saya mendidik teman-teman yang percaya diri dan memiliki passion di bidang ini untuk kemudian membentuk IP Nasional sebagai manajemen. Saya memberi kebebasan mereka untuk membuat ide-ide baru. Yang terpenting, saya memegang ruh atau value Ibu Profesional, apakah on the track atau tidak.

F: Menurut Ibu, apa perbedaan ibu zaman dulu dan ibu zaman now dalam kurun hampir satu dekade?

SPW: Dulu, yang masuk IP adalah para ibu yang bingung dengan dirinya, lalu berjuang mencari informasi, yang ketika sudah mendapatkannya, tidak lagi tengok kanan-kiri atau loncat-loncat. Yang penting sudah berjalan. Sedangkan di lima tahun terakhir, tsunami informasi menjadi kemewahan bagi para ibu yang justru membuat mereka bingung bagaimana menerapkannya ke anak-anak. Ibu zaman now ini geraknya sangat cepat. Saya mengatakan kepada para senior bahwa kita harus mengikuti perkembangan zaman. Para senior harus siap mendengarkan ide-ide baru dari para anggota baru.

 

F: Sosok ibu seperti apa yang menjadi tujuan akhir IP?

SPW: Indikatornya adalah sesuai tagline IP yaitu menjadi ibu yang menjadi kebanggaan keluarga. Suami bangga, anak-anak bangga, ibu pun bahagia. Dengan begitu, anak-anak akan bahagia karena dididik oleh orangtua yang bahagia. Ibu harus berilmu agar anak tumbuh secara normal, tidak ada luka. Jika ibu mau belajar, anak nomor 2, 3, dan seterusnya pasti semakin bahagia. Jangan sampai anak pertama paling bagus, lalu setelahnya malah berantakan.

F: Pernahkah ada pertentangan teori psikologi terkait parenting di IP?

SPW: Dalam mendidik anak, kami based on practice. Ambil satu teori, dipraktekkan, lalu ceritakan pengalaman. Berhasil atau tidak. Kami tidak meributkan teori, nanti sulit dipraktekkan.




Stella Christie, Ilmuwan Kognitif dan Guru Besar Tsinghua University yang Terpilih Jadi Wakil Menteri Dikti Saintek RI

Sebelumnya

Nicke Widyawati Masuk Fortune Most Powerful Women 2024

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women