KOMENTAR

MEMBACA judul di atas, bukan tidak mungkin banyak yang tidak sependapat. Terkesan menggampangkan, menyepelekan, menganggap remeh tanggung jawab seorang ibu. Seakan penulis memandang profesi ibu dengan sebelah mata. Bila saja tertera dalam laman media sosial, bisa jadi hujan komen kontra. Semua pasti mempertanyakan bagaimana mungkin menjadi IBU dianggap sebagai sesuatu yang mudah.

Padahal, ada tiga titik di belakang kata mudah (lihat baik-baik judul di atas). Artinya, perkataan tadi belum selesai. Mmm…mungkin akan ada yang bertanya lagi, jika belum selesai, kenapa harus dijadikan judul? Tidak lain karena tulisan ini ingin memaparkan betapa mulianya menjadi seorang ibu yang ditandai dengan tugas multidimensi yang diemban seorang ibu.

Awal Kehidupan

IBU adalah segalanya dalam hidup ini. Kehidupan berawal dari seorang ibu. Karena itulah, calon ibu harus menyadari pentingnya masa kehamilan dan tidak menganggapnya hanya sebagai fase kehidupan yang harus dijalani ala kadarnya.

Perempuan yang sedang mengandung harus memiliki effort lebih dibanding perempuan lain. Bumil (Ibu hamil) harus membentengi diri dari makanan dan minuman yang tidak membawa kebaikan apalagi yang dapat merusak kesehatan jabang bayi. Bumil tidak boleh melakukan kegiatan fisik ekstrem yang dapat membahayakan konidisi jabang bayi. Bumil juga seharusnya dapat menstimulasi kesalehan jabang bayi melalui bacaan Qur’an yang dapat menenangkan ibu dan bayi dalam kandungannya. Itu semua berarti bahwa jauh sebelum menjadi ibu, perempuan sudah harus mampu menekan ego dan menepikan kepentingan dirinya demi kehidupan si kecil yang bahkan belum pernah ia lihat dengan mata kepalanya.

Selesaikah masa menekan ego setelah bayi terlahir ke dunia? Para ibu tentu akan menghela napas panjang. Bagi yang tidak kuat mental, gangguan baby blues dapat menyerang kapan saja. Belum berhasil menyusui dianggap sebagai kegagalan, hingga kemudian menyerah dengan susu formula tanpa alasan medis yang urgen. Bagi yang sebelum menikah makan sayur seadanya, kini harus mau makan sayuran hijau sebanyak-banyaknya.

Hadirnya newborn, berarti ibu tidak ‘berdaya’ terhadap dirinya sendiri. Kapanpun bayi menangis, ibu harus siap menggendong. Kapanpun bayi butuh ASI, ibu harus siap menyusui. Tak peduli apakah saat itu ia sedang kelelahan atau terkantuk-kantuk. Karena itulah dokter selalu mengatakan “jika bayi tidur, ibu tidurlah”. Yang pada kenyataannya, kata-kata dokter itu sulit dilakukan. Ada hal-hal lain yang juga terjadi atau harus dilakukan saat si bayi tidur, yang membuat ibu sulit memejamkan mata.

Enam bulan kemudian, saatnya MPASI, ibu pun harus memutar otak mencari makanan terbaik untuk si kecil. Jangan sampai buah hati kekurangan gizi. Kemudian ibu pun harus bersiap jika si kecil yang masuk usia balita tiba-tiba berubah menjadi picky eater. Ibu kembali harus memutar otak memasak makanan yang disukai anak tapi tetap mengandung gizi seimbang. Ini pun jelas bukan fase yang mudah dijalani.

Dari sisi psikologis, tantrum menjadi salah satu tantangan terbesar ibu saat membesarkan si kecil. Mengatasi tantrum butuh ‘keahlian’ khusus. Sayangnya, meski banyak teori juga tips & trik mengatasi tantrum, pada realitasnya sangat tidak mudah untuk diaplikasikan. Sebaliknya, anak yang sangat pendiam—hampir tidak mau membuka mulut untuk bicara—juga menjadi PR besar bagi ibu. Bagaimana menumbuhkan rasa percaya diri, bagaimana menumbuhkan rasa nyaman bersama dengan orang lain, tentulah bukan hal yang gampang dilakukan.

Makin besar usia anak, makin besar tantangan yang dihadapi seorang ibu. How to be your children best friend is not easy. Bagaimana agar anak selalu mau menceritakan kehidupannya kepada ibu, bahkan ketika dia masuk masa teenagers dan mendewasa, juga tidak bisa dipaksakan. Tanpa bonding yang kuat, mustahil anak dapat terbuka dan merasa nyaman bercerita tentang kesehariannya kepada ibu. Dan membangun bonding yang kuat dengan anak remaja alias ABG tentu berliku jalannya. Banyak penolakan, banyak penyangkalan, banyak pengacuhan. Ada internet juga teman-teman sebaya yang menawarkan kehidupan yang lebih ‘indah’ dibandingkan segudang aturan yang ibu terapkan di rumah.

Lalu setelah anak lulus sekolah, berkarir, dan memilih pasangan hidupnya, ibu masih saja dibuat gundah. Apakah ini yang terbaik bagi anakku, menjadi pertanyaan yang senantiasa menghantui. Pun ketika anak telah menikah dan status ibu menjadi nenek, ibu kerap bersitegang dengan anak dalam menerapkan pola asuh untuk cucu. Ah!

Lantas, mengapa penulis masih keukeuh mengatakan Menjadi Ibu Itu Mudah?

Ibu, Oh Ibu

Melihat tugas ibu yang multidimensi di atas tadi, benarlah bahwa menjadi ibu itu mudah…

Menjadi ibu itu mudah kehilangan kontrol diri (baca: emosi) karena tidak ada jeda ‘istirahat’ dari masa kehamilan, melahirkan, menyusui, dan membesarkan balita. Waktu berputar dengan cepat, memaksa ibu untuk terus berganti peran dalam membesarkan putra-putrinya. Ibu harus terus mengasah keterampilannya dalam urusan rumah tangga agar kehidupan keluarga berjalan dinamis dan semakin baik dari tahun ke tahun.

Mengasuh anak-anak sudah pasti membuat ibu merasa pusing dan kelelahan hingga tak jarang nada suara ibu meninggi saat menghadapi anak-anak. Bahkan, naudzubillah, kata-kata ancaman terlontar dari bibir ibu. Sungguh, menjadi ibu adalah sebuah pembelajaran tanpa henti. Jangan takut untuk menepi sebentar, beristighfar, berwudhu, dan menenangkan diri sebelum kembali kepada anak-anak. Ini demi menjaga lisan dan menjaga hati dari emosi yang membuncah.

Menjadi ibu itu mudah menjauh dari bersyukur (baca: mudah mengeluh). Anak rewel, anak suka melawan, anak tidak mau belajar, anak kecanduan game online, dengan mudah membuat ibu merasa telah gagal. Ibu merasa bersalah. Ibu merasa depresi. Padahal banyak hal yang harus disyukuri dan kondisi tidak ideal itu bisa dicari solusinya untuk bisa diperbaiki. Ketika hati dan lisan jauh dari bersyukur, hidup akan terasa berat. Penyesalan selalu hadir. Dan ibu akan terus mengeluh dan mengeluh tentang beratnya beban menjadi seorang ibu.

Belum lagi, ketika rasa syukur menjauh, ibu akan mudah terpana melihat kehidupan orang lain. Terpana melihat ibu lain yang seolah mampu menjadi wonderwoman. Punya karir cemerlang, rumah mentereng, suami yang mensupport, juga anak yang lucu-lucu. Rasanya ibu tidak punya kelebihan apapun yang bisa dibanggakan. Rasanya ibu hanya “ibu rata-rata” yang tidak akan bisa punya signature achievement yang bisa dikenang sepanjang masa.

Lantas, apa yang harus dilakukan jika menjadi ibu itu mudah…?

 

Jangan Berhenti Belajar

Pertama, ingatlah bahwa menjadi ibu yang dapat membawa anak-anaknya kepada Islam dan ketakwaan adalah tiket masuk ke surga. Kesadaran ini yang hendaknya tidak boleh luntur dalam diri ibu. Dengan begitu, ketika ibu merasa lelah, ibu merasa kehilangan daya, ibu tetap teguh berdiri karena tak ingin kehilangan tiket ke surga itu. Sesulit apapun kondisi ibu dan keluarga, mental ibu akan selalu teruji mengingat janji Allah itu.

Kedua, yakinkan diri kita untuk selalu melakukan yang terbaik untuk anak kita, dengan ajaran Islam sebagai panduannya. Memberi yang terbaik dari diri ibu, bukan berarti memanjakan anak dengan limpahan materi. Sekalipun kita kerap merasa sebagai “ibu rata-rata” yang tidak punya kemahiran apapun, tetaplah bertekad dan memberi yang terbaik dari diri ibu.

Ketiga, jangan pernah berhenti menyuburkan kepekaan nurani. Hanya nuranilah yang pada keadaan ‘gelap gulita’ dapat membedakan kebaikan dari keburukan. Hanya nuranilah yang akan menuntun ibu untuk dapat memilih dan memilah mana yang terbaik untuk memenuhi hajat anak dan mana yang hanya fatamorgana, demi kepentingan dunia dan mata manusia.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women