KOMENTAR

SIAPKAH Anda mematikan tombol daya gawai Anda untuk menolak penyalahgunaan teknologi yang makin hari makin merusak keharmonisan hubungan antarmanusia?

It’s all about PHUBBING. Sebuah kosakata baru di abad 21 yang muncul sebagai akibat kemajuan teknologi dalam kehidupan modern. Berasal dari kata “phone” dan “snubbing”, yang jika diartikan dalam Bahasa Indonesia kira-kira menjadi “perilaku mengacuhkan orang lain demi kecintaan terhadap ponsel”. Ada juga yang mengartikan phubbing lebih spesifik sebagai “tindakan melihat ponsel di tengah pembicaraan”. Phubbing dianggap sebagai penghinaan karena pelakunya (phubber) mengacuhkan bahkan menganggap tidak ada orang yang sedang bersamanya.

Phubbing bisa terjadi kapan dan di mana saja. Di restoran yang ada di mal, dengan mudahnya kita melihat keluarga atau sekelompok sahabat berkumpul dalam satu meja. Hanya satu dua yang asyik ngobrol, sementara yang lain memilih menundukkan kepala menatap layar ponsel. Jemari sibuk mengetik atau mengklik, sesekali tersenyum, tertawa, atau mengernyit. Sama sekali tidak menyadari manakala pelayan sudah membawakan makanan pesanannya, apalagi terlibat dalam percakapan di meja makan.

Tak usahlah di mal. Di rumah saja, saat makan malam, ponsel selalu ada di samping piring makan kita. Sambil menyuap makanan, mata selalu terarah ke layar ponsel. Sangat bahagia manakala ada bunyi notifikasi media sosial yang masuk. Serupa dengan di mal atau rumah, phubbing juga mudah ditemui di tempat kerja. Anda mengadiri rapat tapi tidak ‘hadir’ untuk rapat. Saat atasan atau rekan kerja sibuk presentasi, Anda pun sibuk penetrasi: menulis status “meeting lagi, meeting lagi”, me-like postingan teman, hingga mengomentari foto-foto baru teman Anda.

Phubbing jelas berbeda dari ‘keharusan’ melihat ponsel bagi mereka yang memiliki kepentingan tentang itu. Misalnya para administrator marketplace atau online shop, konsultan saham, atau jurnalis media online. ‘Keintiman’ mereka dengan gadget tentulah dalam koridor pekerjaan. Itu pun tetap ada saatnya mereka beristirahat, menutup layar ponsel sembari menikmati momen kebersamaan bersama pasangan, keluarga, dan teman-teman. Sebaliknya, jika Anda merasa tidak afdhal jika bangun tidur, sehabis mandi, saat sarapan, juga saat makan siang tidak mengecek laman Whatsapp dan merasa hidup membosankan jika tidak bolak-balik stalking Instagram para selebriti, Anda tidak sadar sudah melakukan phubbing as a habit.

Membahayakan Pelaku dan Korban

Ironis. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan fenomena phubbing. Bayangkan saja, kita begitu sibuknya mencari perhatian dan ‘mengajak bicara’ orang-orang di lingkaran media sosial kita hingga lantas mengabaikan orang yang sedang berbicara di hadapan dan samping kanan-kiri kita. Kita mengacuhkan perasaan orang-orang di sekitar.

Jika ada yang menjadikan sebuah hubungan menjadi satu arah, itulah teknologi. Komunikasi yang seharusnya terjadi take and give di dalamnya alias dua arah, menjadi mampet karena phubbing. Akan sangat membahayakan jika salah satu pihak sedang membutuhkan perhatian lebih sementara pihak lain ‘menghina’nya dengan memilih berinteraksi dengan ponsel.

Bagi korban phubbing, perasaan terabaikan, teracuhkan, dan terhina sudah pasti akan hinggap. Anda juga merasa bahwa kualitas hubungan menjadi memburuk. Satu dua kali mungkin bisa dianggap biasa. Namun jika menjadi kebiasaan, maka korban tentulah akan berontak. Bagaimana mungkin kita bisa memberi toleransi pada phubbing yang kelewat batas, yang tidak mengenal tempat dan waktu. Misalkan saja, saat meminta pasangan mengantar ke dokter karena anak demam tinggi, lalu pasangan acuh, bukan tidak mungkin Anda akan naik pitam.

Bahayanya, phubbing ini tidak hanya merugikan korban tapi juga pelakunya. Bagi pelaku, ia bisa jadi tidak menyadari telah kecanduan phubbing. Phubber seringkali tidak menyadari perbuatannya dan tidak menyadari bahwa perbuatan itu salah. Mereka hanya merasa sangat senang karena bisa ‘melakukan apa saja’ di dunia maya setiap saat.

Yang kemudian terjadi adalah mereka menjadi orang yang cenderung antisosial, sulit berkomunikasi dengan efektif, sulit mengungkapkan pendapat dalam kalimat yang baik dan benar, sulit merespons pembicaraan orang lain, serta sulit bersimpati dan berempati terhadap sesama. Mereka yang asyik phubbing saat acara makan bersama juga cenderung tidak dapat merasakan kelezatan hidangan yang mereka santap. Padahal, orang lain yang menikmati kebersamaan tanpa phubbing, ramai-ramai memuji nikmatnya rasa makanan tersebut.

Dalam hubungan antarpasangan, phubbing akan membuat pasangan merasa bahwa Anda lebih memprioritaskan orang lain dibanding pasangan sekalipun dalam momen romantis berdua. Jika Anda ingin tahu seberapa berbahaya phubbing bagi hubungan Anda, ingat-ingatlah…kapan terakhir Anda duduk berdua tanpa membawa ponsel atau mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam tas atau saku celana? Jika Anda sudah tidak ingat lagi, itu artinya phubbing sudah menggerus keintiman Anda berdua. Jika kebiasaan duduk berdua dengan satu ponsel terus aktif tak juga berkurang, perasaan marah Anda tentu akan menggunung hari demi hari. Apakah Anda rela gairah cinta dan kasih sayang Anda dan pasangan menguap tak berbekas?

Pun dalam keharmonisan sebuah keluarga, phubbing adalah ‘sahabat nomor satu’ keluarga modern zaman now. Si bungsu, memilih menonton lagu-lagu anak dari saluran YouTube ditemani pengasuh. Si Abang dan Si Kakak bergantian memainkan game di tablet. Ibu harus lebih dari tiga kali memanggil Abang dan Kakak—yang terakhir dengan nada tinggi—agar anak-anak bisa mendengar perkataannya. Sementara ayah, dengan alasan supaya anak-anak tenang, memberi izin anak-anak phubbing saat makan bersama, kumpul keluarga, atau liburan. Bisa jadi, ayah pun mulai kecanduan gadget.

Phubbing dalam Islam

Sebagai muslim, kita seharusnya menyadari bahwa phubbing adalah akhlak yang tercela. Dalam hablumminannas (hubungan antara sesama manusia), Rasulullah saw. mencontohkan adab dan kesantunan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Banyak kisah menceritakan betapa Rasulullah amat memuliakan lawan bicaranya. Beliau mendengar, memperhatikan, dan tentu saja menatap sang lawan bicara.

Sepanjang sesuai syariat (bukan berbicara empat mata dengan lawan jenis yang bukan mahram) dan dalam rangka ketaatan kepada Allah Swt. (bukan berghibah tentang aib orang lain), maka kita hendaklah menatap atau menghadapkan wajah kita kepada lawan bicara dan tidak berpaling darinya. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah engkau meremehkan suatu kebajikan, meskipun sekadar wajah berseri ketika engkau bertemu saudaramu.” (HR. Muslim)

Dalam berbicara, Islam menuntun umatnya dengan etika. Di antaranya adalah bagaimana mendengarkan perkataan orang lain yang sedang berbicara, tidak memotong perkataan orang lain, tidak bersikap sok mengetahui apa yang dikatakan orang lain, juga tidak meremehkan pendapat orang lain. Dengan demikian jelaslah bahwa phubbing adalah salah satu kebiasaan buruk yang tidak sesuai dengan akhlak Islam.

Dalam kapasitas pribadi, phubbing dapat mengacaukan hati dan pikiran seorang muslim. Bahkan bukan tidak mungkin pikiran yang terus-menerus berlayar di dunia maya akan menghalangi kekhusyukan ibadah. Ketika shalat misalnya, walaupun sudah berwudhu dan melafalkan takbiratul ihram, pikiran masih terpaku pada konten media sosial yang baru saja dijelajahi. Akibatnya lupa jumlah rakaat atau ketinggalan rukun shalat.

Yang juga tak kalah penting adalah umat Islam harus menyadari bahwa phubbing dapat memutuskan mitsaqan ghalizan antara suami-istri, menghancurkan keutuhan keluarga, bahkan memecah-belah umat. Phubbing erat dengan kehidupan dunia maya yang rentan haters, komentar sarkasme dan bernada SARA, hingga hoax. Jangan sampai seorang muslim cepat terpengaruh dan menyebarkan fitnah. Belum lagi ancaman pornografi yang marak di media sosial, bisa menjadi pengurang ketaatan dan istiqamah muslim di jalan Allah. Karena itulah, seorang muslim harus menjadi individu yang tangguh untuk bisa menghilangkan phubbing dari gaya hidupnya.

 

Jangan Tunda Lagi

Untuk bisa berhenti dari phubbing yang telah menjelma menjadi sebuah kebiasaan dan kecanduan, dibutuhkan tekad kuat. Dan tekad itu harus dilandasi kesadaran bahwa phubbing benar-benar membahayakan kesehatan mental Anda sekaligus menebarkan kebencian bagi orang-orang di sekitar Anda. Mereka yang menjadi korban phubbing bisa mendepak Anda dari daftar sahabat karib yang diajak hangout setiap minggu. Atau bagi pasangan, bukan tidak mungkin Anda akan didiamkan dan dikucilkan dari acara-acara keluarga.

Tanpa phubbing, pasangan akan melihat Anda sebagai pribadi yang dapat diandalkan. Anda pun bisa merasakan bahwa pasangan membutuhkan Anda untuk sharing dan bertukar pikiran untuk mencapai tujuan bersama.

Harus ada step by step yang ditempuh agar Anda dapat melepaskan phubbing dengan penuh kesadaran, tanpa merasa terpaksa. Dengan begitu, Anda dapat menyadari bahwa tanpa phubbing, hidup menjadi lebih bermakna. Hubungan dengan pasangan, sahabat, dan rekan kerja menjadi kian erat. Ada sikap saling menghargai, saling menyayangi, saling mendukung, dan saling percaya yang menjadikan hubungan semakin kuat.




Dukung Riset dan Publikasi Ilmiah, Kantor Wilayah Kemenkumham DKI Jakarta Luncurkan Jurnal Yustisia Hukum dan HAM “JURNALIS KUMHAM”

Sebelumnya

Momen Unik yang Viral, Kebersamaan Presiden Prabowo dan Kucing Bobby Kertanegara di Istana

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News