KOMENTAR

ADA rasa haru. Tergambar jelas dari air muka dan intonasi suara wartawan-wartawan senior Indonesia dan Malaysia yang berkumpul di Putrajaya, Malaysia, Selasa (12/2).

Mereka mengenang masa-masa sulit beberapa belas tahun lalu ketika hubungan masyarakat kedua negara berada pada titik terendah. Saling hina dan cela ketika itu adalah hal yang biasa, mengiringi sejumlah peristiwa. Mulai dari sengketa perbatasan wilayah sampai isu tenaga kerja Indonesia di Malaysia.

Di masa sulit itulah sejumlah wartawan Malaysia dan Indonesia menggelar pertemuan yang akhirnya melahirkan Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia-Indonesia, disingkat Iswami.

“Sudah 10 hingga 11 tahun terakhir hubungan masyarakat kedua negara amat baik. Dulu sering terjadi keributan karena hal-hal kecil,” ujar Wakil Ketua Iswami-Malaysia, Datuk Zulkifli Hamzah, ketika menyambut kehadiran delegasi Iswami-Indonesia dalam jamuan makan malam di Hotel The Everly, Putrajaya.

Menurutnya, wartawan Indonesia dan Malaysia bisa dengan relatif mudah menjadi agen yang meredakan ketegangan karena memiliki pengalaman kebudayaan yang sama. Di masa lalu, produk seni dan budaya Indonesia dikenal baik di Malaysia, dan sebaliknya.  

Ketua Iswami-Indonesia, Asro Kamal Rokan, membenarkan penilaian Zulkifli Hamzah itu.

Iswami, kata Asro yang juga anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), didirikan untuk memperbaiki hubungan masyarakat kedua negara yang sedang begitu buruk.

Asro mengingatkan, hubungan masyarakat kedua negara tidak boleh rusak lagi. Seperti air, seharusnya tidak ada pedang setajam apapun yang bisa memisahkan masyarakat serumpun ini.

Masalahnya sekarang, sambung Asro, apakah persahabatan dan persaudaraan yang terjalin erat selama ini bisa dilanjutkan oleh generasi milenial?

“Persaudaraan ini harus kita wariskan. Kita boleh pergi kapanpun, tetapi hubungan ini harus tetap abadi,” ujar Asro lagi. 

 

“Kolonial” Versus Milenial

Di saat hubungan masyarakat kedua negara sedang memburuk, Perdana Menteri Malaysia ketika itu, Abdullah Badawi, meminta bantuan wartawan-wartawan Malaysia yang memiliki hubungan baik dengan wartawan Indonesia untuk berangkat ke Jakarta.

Di antara wartawan senior Malaysia yang ditugaskan itu adalah Tan Sri Johan Jaaffar. Ia berangkat ke Jakarta untuk bertemu dengan Asro Kamal Rokan, Noor Syamsuddin Ch. Haesy, Ilham Bintang, Tarman Azzam dan Syaiful Hadi Chalid. Dari pertemuan-pertemuan inilah Iswami berdiri.

“Iswami ikut menyelamatkan hubungan kedua negara,” ujar Tan Sri Johan Jaaffar dalam sambutannya.

Dia sepakat dengan pandangan Asro, semangat menjalin hubungan baik ini harus diwariskan kepada generasi muda yang kini kerap disebut sebagai generasi milenial.

Masalahnya, generasi milenial memiliki karakter yang berbeda dengan generasi “kolonial”.

Generasi milenial adalah “me me generation” yang lebih mementingkan diri sendiri dan menganggap hal-hal lain di luar diri mereka tidak penting. Media sosial membuat mereka bisa dengan mudah mengetahui banyak hal, tetapi di saat bersamaan melahirkan sikap tidak peduli.

“Kita harus mencari jalan untuk meraih mereka,” ujarnya.

Dua wartawan senior lain yang ikut berbicara dalam dialog di akhir makan malam itu adalah Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang dan Datok Jalil Ali.

Keduanya pun sepakat dengan pertimbangan-pertimbangan pentingnya mewariskan semangat persahabatan dan persaudaraan Iswami ini dari generasi "kolonial" kepada generasi milenial.

Jamuan makan malam Iswami diramaikan oleh penampilan kelompok band yang membawa sejumlah lagu Indonesia dari era 1980am dan 1990an, seperti lagu Kabar untuk Kawan, Antara Anyer dan Jakarta, Jangan Ada Dusta di Antara Kita, Hati Lebur Jadi Debu. Selain itu juga didendangkan lagu legendaris dari grup band Malaysia, Search, yang terkenal di seantero Indonesia, Isabella.




Gunung Lewotobi Kembali Meletus Disertai Gemuruh, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Sebelumnya

Timnas Indonesia Raih Kemenangan 2-0 atas Arab Saudi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News