KOMENTAR

JIKA kita menyebut namanya, tergambarlah sosok perempuan mandiri, berani, dan lantang menyuarakan ketidakadilan di negeri ini.

Fahira Idris merupakan cucu perta ma KH. Hasan Basri—Ketua MUI selama empat periode setelah Prof. Buya Hamka. Ia adalah anak Kartini Hasan Basri (almh) dan Fahmi Idris, seorang politisi senior yang pernah menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia pada pemerintahan Presiden B. J. Habibie dan Menteri Perindustrian Indonesia pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Istri dari Aldwin Rahadian (Pengacara) dan ibu dari dua putri, Nabila Zahra dan Nazira Auliya ini selain dikenal sebagai pengusaha, aktivis sosial dan politik, pengurus Persatuan Menembak dan Berburu Indonesia (PERBAKIN), juga menjabat sebagai anggota DPD RI Dapil Prov. DKI Jakarta. Belum lama ini, Fahira memperoleh penghargaan Moeslim Choice Award 2018 sebagai salah satu inspirator perubahan.

Di antara yang menjadi fokus saat ini adalah Fahira terus mendorong disahkannya Rancangan Undang-Undang Ekonomi Kreatif, memastikan disahkannya Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol, memperjuangkan lahirnya Rancangan Undang-Undang Sistem Pengupahan, selain tentu sejumlah program kerja lain yang pro rakyat.

F: Bagaimana awalnya terjun ke politik?
FI: Awal usia 20 tahun saya memulai usaha di bidang parcel & florist. Di awal usia 30 tahun saya mulai terjun ke dunia sosial, khususnya terjun ke tempat-tempat yang terkena dampak bencana. Jika kemudian menjadi wakil rakyat, sebenarnya mengalir begitu saja. Terjadi di awal usia 40 tahun, saat saya mulai aktif di twitter dan mulai berinteraksi dengan masyarakat melalui "Gerakan Masyarakat Cinta Damai" pada tahun 2010, dan "Gerakan Nasional Anti Miras" pada tahun 2012. 

Jujur, walau ayah saya seorang politisi, saya tidak berpikir sama sekali untuk terjun ke dunia politik. Menjadi anggota DPD atau biasa disebut senator sebenarnya adalah dorongan orang-orang terdekat saya baik di keluarga maupun teman-teman di organisasi dan komunitas tempat saya aktif. Menurut mereka, apa yang saya perjuangkan terutama terkait isu-isu perempuan dan anak serta gerakan anti miras akan lebih didengar oleh para pengambil kebijakan di negeri ini. Setelah melalui perenungan, saya berniat maju pada Pemilu 2014 lalu, tetapi tidak melalui kendaraan partai politik tetapi lewat jalur perseorangan atau independen sebagai senator yang mewakili masyarakat Jakarta. Pilihan saya menjadi senator karena ingin berdiri untuk semua golongan dan lapisan masyarakat juga tidak terbelenggu oleh kepentingan partai. Alhamdulilah setelah dipercaya rakyat Jakarta, saat ini apa yang saya perjuangkan lebih didengar.

F: Seberapa besar pengaruh ayahanda (Fahmi Idris) terhadap sepak terjang ibu Fahira di kancah politik?
FI: Sangat besar, beliau adalah inspirator dan mentor yang menyadarkan saya bahwa politik itu cara yang tepat untuk bersuara, bersikap, dan jalan yang paling efektif untuk membela mereka yang lemah dan dilemahkan oleh sistem dan ketidakadilan.

F: Apa tujuan utama ibu terjun ke politik, dalam jangka pendek maupun panjang?
FI: Tujuan utama adalah untuk membela mereka yang lemah dan dilemahkan oleh sistem dan ketidakadilan. Dalam jangka pendek, fokus saya adalah kepada masyarakat, terutama perempuan dan anak, karena dalam masyarakat merekalah yang paling rentan mendapat ketidakadilan. Selain berjuang di parlemen (penyusunan regulasi yang melindungi anak dan perempuan), aksi nyata lainnya adalah memperjuangkan isu-isu anak dan perempuan mulai dari kekerasan, perlindungan hukum, sampai pemberdayaan terutama terhadap perempuan.

Saya memiliki tim hukum yang memberikan bantuan hukum gratis untuk masyarakat melalui Ormas dan LBH "Kebangkitan Jawara dan Pengacara" (Bang Japar), khususnya perempuan dan anak korban kekerasan. Ada juga komunitas Gerakan Perlindungan Perempuan dan Anak (GPPA) yang cukup efektif mengadvokasi anak dan perempuan terutama di Jakarta sekaligus menjadi wadah pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Saya berkeyakinan selama persoalan perempuan dan anak belum bisa teratasi, maka selama itu juga sebuah bangsa tidak akan pernah mengalami lompatan kemajuan. Karena perempuan, terutama ibu dan anak, adalah inti kemajuan sebuah bangsa.

Dalam jangka panjang saya punya visi besar, bangsa ini ke depan tegas berpihak dan membela kelompok masyarakat yang lemah dan dilemahkan, juga menguatkan mereka yang terpinggirkan serta mampu membangun sebuah sistem dan kebijakan yang berdimensi keadilan sosial. Jika ini terwujud, Indonesia segera akan menjadi negara berperadaban dan terkemuka di dunia. 

F: Bagaimana visi dan misi ibu untuk memperjuangkan hak-hak para perempuan?
FI: Membuka sumbatan sumber ketimpangan gender mulai dari ketimpangan gender dalam ekonomi dengan membuka seluas-luasnya akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi, akses terhadap pasar tenaga kerja, kondisi pasar tenaga kerja, dan kewirausahaan serta menghapus kekerasan terhadap perempuan. Dan yang sangat penting dari ini semua adalah penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang menjadi sumber persoalan yang melemahkan perempuan Indonesia. Selama angka kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, selama ini juga upaya pemberdayaan perempuan akan terhambat. Untuk itulah kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan sudah sangat mendesak, dan saat ini sedang diperjuangkan agar segera disahkan oleh DPR dan Pemerintah.

 

 

F: Hal apa yang paling harus dibenahi dalam kehidupan politik, terutama menyangkut kehidupan perempuan dan keluarga?
FI: Kita semua tahu, keluarga itu adalah miniatur sebuah bangsa dan negara. Karena pada hakikatnya sebuah bangsa dan sebuah negara terbentuk atau terdiri dari kumpulan keluarga. Dalam sebuah bangsa, keluarga (ayah-ibu-anak) adalah kekuatan yang menggerakkan semua sisi dan bidang kehidupan. Makanya ada ungkapan “Jika ingin menggenggam sebuah bangsa, genggamlah keluarga-keluarga mereka, genggamlah ayah-ibu dan anak-anak mereka.” Artinya, jika ingin menguasai sebuah bangsa maka lemahkan keluarga-keluarga yang ada di dalam bangsa tersebut. Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa maka rusaklah anak-anak bangsa tersebut.

Saat ini berbagai ancaman sedang menggempur sendi-sendi ketahanan keluarga Indonesia. Selain harus mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarga yaitu ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang menjadi tantangan utama ketahanan keluarga, saat ini kita sedang dikepung oleh begitu kuatnya gerakan yang mencoba menghancurkan ketahanan keluarga negeri ini. Ancaman itu mulai dari miras, narkoba, pornografi, LGBT, ditambah maraknya kejahatan kekerasan terhadap anak baik fisik maupun seksual.

F: Bagaimana peran negara dalam hal ini?

FI: Tanggung jawab kita sebagai ibu untuk mempertahankan ketahanan keluarga dari berbagai ancaman kerusakan akan lebih mudah kita lakukan jika ada sebuah regulasi yang mengamanatkan kepada negara untuk turut bertanggung jawab menciptakan keluarga Indonesia yang sejahtera dan berkualitas.  

Dengan adanya regulasi atau undang-undang, maka berbagai ancaman ketahanan keluarga mulai dari narkoba, miras, LGBT, pornografi, dan kekerasan terhadap anak dan perempuan juga akan menjadi tanggung jawab negara dan tanggung jawab kita semua untuk menanggulanginya. Berbagai ancaman ini tentunya tidak bisa diselesaikan hanya oleh institusi bernama keluarga, apalagi hanya seorang ibu/perempuan. Untuk itulah, negara hadir.

F: Bagaimana pandangan ibu tentang ancaman narkoba pada anak?
FI:
Miras dan narkoba itu musuh peradaban. Keduanya mesin pembunuh yang harus kita lawan. Suka tidak suka, mau tidak mau, bangsa kita saat ini sedang dicengkeram pengaruh buruk dan merusak dari miras dan narkoba. Lihat saja pemberitaan, hampir tiap hari ada berita terkait korban akibat miras dan narkoba. Untuk narkoba, bahkan Indonesia sudah dijuluki surga bagi peredaran narkoba. Berton-ton narkoba coba diseludupkan ke negeri ini. Kita bukan lagi target pemasaran narkoba, tetapi sudah menjadi produsen narkoba. Bahkan di penjara pernah ditemukan pabrik narkoba.

Data BNN menyebutkan dari 6,4 juta pengguna narkoba, sebanyak 70 persennya adalah pekerja usia produktif. Sebanyak 22 persen lainnya adalah pelajar dan mahasiswa. Ancaman narkoba sudah merongrong kita sebagai sebuah bangsa. Jika negeri ini ingin tetap berdiri, menurut saya Undang-Undang Narkotika harus segera direvisi karena sudah tidak mampu lagi mengantisipasi kejahatan narkoba yang semakin luar biasa. Narkoba ini proxy war paling nyata yang sedang menghantam bangsa ini.

 

F: Apakah ancaman miras juga berada dalam kondisi yang sama dengan narkoba?

FI: Produksi, distribusi, dan konsumsi miras lebih parah lagi. Jika pada 2007 berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Departemen Kesehatan jumlah remaja pengonsumsi miras di Indonesia masih diangka 4,9%, tetapi pada 2014 berdasarkan hasil riset yang dilakukan Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM) jumlahnya melonjak drastis hingga menyentuh angka 23% dari total jumlah remaja Indonesia yang saat ini berjumlah 63 juta jiwa atau sekitar 14,4 juta orang. Kerusakan akibat miras begitu luar bisa menyasar anak-anak kita. Miras mampu mengubah mereka menjadi pelaku kejahatan.

Penelitian menyimpulkan akses mendapatkan miras yang terlalu mudah merupakan alasan utama mengapa remaja berada dalam pengaruh miras pada saat melakukan tindakan kriminal dalam hal ini pembunuhan. Saya dengan tegas menyebut miras adalah mesin pembunuh. Tidak hanya membahayakan yang meminumnya tetapi membahayakan orang lain. Karena miras, anak tega membunuh ibunya. Miras jadi biang kejahatan, mulai dari pembunuhan, perkosaan, juga kecelakaan lalu lintas. Pangkal dari persoalan miras di negeri ini adalah, bangsa sebesar Indonesia tidak punya regulasi larangan miras setingkat UU. Selama tidak ada UU yang melarang miras, selama itu juga miras akan menjadi mesin penghancur generasi muda kita.

F: Menurut Ibu, bagaimana langkah pencegahan yang efektif?




Ni Luh Puspa, Perempuan Asal Bali yang Mengemban Tugas Sebagai Wakil Menteri Pariwisata

Sebelumnya

Arifatul Choiri Fauzi, Mengemban Amanah Sebagai Menteri PPPA Kabinet Merah Putih

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women