KOMENTAR

INDONESIA memiliki modal yang cukup untuk tumbuh menjadi bangsa dan negara terpandang di dunia. Founding fathers Indonesia merajut rasa kebangsaan di atas penderitaan hidup terjajah oleh bangsa asing, dan mendirikan negara untuk melindungi dan mensejahterahkan rakyat.

Setelah kemerdekaan diproklamasikan, rakyat Indonesia melanjutkan hidup sebagai satu bangsa yang sama. Perkawinan dan berbagai bentuk hubungan kekerabatan dan pertemanan membuat tenun kebangsaan itu semakin kuat.

Namun di sisi lain harus tetap disadari bahwa dalam sistem internasional yang anarkis, Indonesia akan terus menjadi incaran bangsa asing.

Di masa kini keingin menguasai Indonesia itu dilakukan dengan cara-cara yang halus dan tidak disadari, yang intinya adalah untuk terus menguji dan mencari titik lemah yang bisa merusak kebangsaan dari dalam.

Demikian antara lain disampaikan wartawan dan penulis Teguh Santosa dalam bedah buku “Di Tepi Amu Darya” yang diselenggarakan di Aula Kampung Rakyat, Miss June and Friends Cafe, Jalan Candi Mendut, Blitar, Sabtu malam (9/3/2019).

Pernyataan Teguh di atas untuk menjawab pertanyaan salah seorang peserta apakah Indonesia bisa mengalami nasib yang sama seperti Afghanistan yang dikisahkan dalam buku itu.

“Saya tidak ingin menyederhanakan persoalan. Tetapi dari banyak literatur yang berkisah tentang kehancuran bangsa-bangsa, agresivitas lingkungan internasional dan perpecahan internal merupakan faktor utama penyebab rusaknya tenun kebangsaan,” ujar Teguh yang juga dosen Hubungan Internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dia juga mengutip teori kehancuran sebuah bangsa yang ditulis Jared Diamond dalam buku “Collapse”.

Menurut Teguh, dengan menggunakan cara pandang seperti ini dirinya berharap generasi muda Indonesia, khususnya yang berada di Blitar, dapat terus optimistis dan di saat yang sama waspada dan menjaga persaudaraan dengan sesama anak bangsa.

“Blitar sudah dicatat dengan tinta emas dalam sejarah bangsa kita. Telah memberikan sumbangan dan inspirasi yang sangat berarti,” ujar Teguh merujuk pada pengalaman Bung Karno menghabiskan masa kecil di kota ini.

Buku “Di Tepi Amu Darya” adalah kumpulan reportase Teguh saat meliput perang di Afghanistan tahun 2001 dari perbatasan negara itu dengan Uzbekistan.

“Amu Darya adalah nama sungai yang mengalir di antara Afghanistan dan Uzbekistan. Tadinya saya kira bisa memasuki wilayah Afghanistan dari kota Termez yang berada di tepi Amu Darya,” kata Teguh mengenang perjalanannya lebih dari 17 tahun lalu.

Namun, sambungnya, sampai rezim Taliban tumbang dan Kabul dikuasai pasukan Aliansi Utara yang didukung koalisi internasional yang dipimpin Amerika Serikat, jembatan yang menghubungkan kedua negara tidak kunjung dibuka.

Uzbekistan kelihatannya khawatir apabila dibuka jembatan itu akan digunakan warga Afghanistan untuk mengungsi ke Uzbekistan, dan bukan tidak mungkin pula ada anggota Taliban yang ikut dalam pengungsian.

Seperti yang dialami banyak negeri di muka bumi, setelah Perang Dunia Kedua berakhir, Afghanistan menjadi negeri yang diperebutkan blok Barat dan Timur. Uni Soviet menginvasi Afghanistan pada 1979.

Selama 1980an, Amerika dan sekutu mempersenjatai kelompok rakyat Afghanistan yang melarikan diri ke Pakistan. Pejuang-pejuang muslim dari negeri-negeri lain juga diundang dan dilatih untuk menghadapi komunis Soviet di Afghanistan. Pada 1989, Uni Soviet akhirnya mundur dari Afghanistan, dan dimulailah pemerintahan kaum Mujahidin yang tidak stabil.

Setelah perang saudara di pertengahan 1990an, Taliban berkuasa di Afghanistan sampai 2001.

Tahun 2018 lalu pemerintah Afghanistan menawarkan rekonsiliasi pada Taliban. Pembicaraan damai sedang dilakukan, namun di saat bersamaan aksi terorisme masih sering terjadi.

Selain reportase dari tepi Amu Darya, buku karya Teguh yang diterbitkan bulan Oktober 2018 itu juga dilengkapi dengan artikel-artikel yang ditulis Teguh beberapa tahun setelah itu.

Teguh memulai karier sebagai wartawan pada tahun 2000. Perang Afghanistan adalah liputan internasional pertama yang dilakukannya. Setelah itu, di tahun 2003 Teguh meliput perang di Irak dari Suriah, diikuti liputan krisis nuklir Korea Utara juga di tahun 2003.

Teguh juga meliput krisis politik di Lebanon pada 2005 dan pemilihan presiden AS pada 2008 yang dimenangkan Barack Obama. Pada tahun 2010 Teguh meliput sengketa Sahara Barat di Maroko. Pada 2011 dan 2012 ia menjadi petisioner yang ikut berbicara di depan Komisi IV PBB di New York untuk sengketa ini.

Teguh juga mengikuti dari dekat ketegangan dan upaya perdamaian di Semenanjung Korea. Tahun lalu, ia mengikuti dari dekat krisis politik dan pemilihan presiden Venezuela.

Mantan Ketua bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan pendiri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) itu kini adalah anggota Dewan Kehormatan PWI bersama sejumlah wartawan senior Indonesia, seperti Ilham Bintang, Sasongko Tedjo, Karni Ilyas, Peter F. Gontha, Suryopratomo, Tri Agung Kristianto, dan Raja Pane.




Jaya Suprana: Resital Pianis Tunanetra Ade “Wonder” Irawan Adalah Peristiwa Kemanusiaan

Sebelumnya

Kemitraan Strategis Accor dan tiket.com Perkuat Pasar Perhotelan Asia

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel C&E