KOMENTAR

BERAWAL dari niat membantu pedagang kecil di pasar terbesar di Yogyakarta, Mursida Rambe bersama dua temannya mulai membangun BMT (Baitul Mal Wat Tanwil) Beringharjo. Jatuh bangun merintis usaha, alhamdulillah kini aset BMT yang dipimpinnya mencapai Rp 165 miliar, dari modal awal Rp 1 juta di tahun 1994.

Sejak kecil, Mursida sudah akrab dengan kehidupan para pedagang kecil. Setiap hari, Mursida kecil selalu membantu ibunya berdagang di Pasar Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Di pasar tersebut, ia sering menyaksikan pedagang kecil terjerat rentenir sehingga terpaksa terusir dari rumahnya karena terjerat utang.

Salah satu yang membekas dibenaknya adalah kisah Bik Senin, yang sehari-hari berjualan ubi kayu, daun pisang, dan gori (nangka muda untuk gudeg). Bik Senin punya pinjaman Rp 100.000 ke rentenir. Dari hutang yang hanya Rp 100.000 itu, kemudian terus berbunga, sampai berujung pada dieksekusinya rumah Bik Senin.

Modal Minimalis

Beranjak dewasa, Mursida merantau ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1985. Setamat  SMA, ia masuk Fakultas Dakwah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Di kota ini, Perempuan kelahiran Pangkalan Brandan (Sumatera Utara) 21 Oktober 1967 ini kembali dipertemukan dengan nasib pedagang kecil di pasar Beringharjo yang terjerat ulah kejam rentenir. Ketidakadilan yang dialami pedagang pasar begitu mengusik hatinya, hingga ia bertekad berbuat sesuatu untuk menolong mereka.

Niat mulia tersebut dibukakan jalannya oleh Allah saat ia mengikuti pelatihan manajemen syariah yang diselenggarakan lembaga zakat Dompet Dhuafa di Bogor. Dalam diklat lima hari tersebut, dilanjutkan mengikuti magang di BMT selama sebulan, terbersitlah ide untuk mendirikan lembaga keuangan untuk membantu menolong pedagang dari cengkeraman lintah darat.

Maka selepas magang, Mursida bersama dua temannya, Ninawati dan Nazny Yenny, mengajukan proposal untuk mendirikan BMT. “Kami awalnya mengajukan  Rp 3 juta, ternyata hanya disetujui Rp 1 juta,” katanya.

Setelah dapat modal, mereka lalu mencari lokasi. Ternyata mengembangkan usaha ini tidak mudah. Mencari ke mana-mana, tetapi tidak dapat. “Akhirnya, Allah Swt. memudahkan langkah kami. Secara kebetulan, bertemu mantan guru saya di madrasah yang jadi pengurus takmir Masjid Muttaqin, Beringharjo. Kami diizinkan memakai serambi masjid karena tidak terpakai. Di serambi masjid itulah BMT Beringhajo mulai dirintis dengan serba terbatas. Kami diberi meja dan kursi ala kadarnya. Dari serambi masjid inilah memulai misi pendampingan bagi pedagang kecil di Pasar Beringharjo agar terbebas dari rentenir,” ujarnya.

 

Perempuan yang pernah meraih penghargaan Dompet Dhuafa Awards, Kartini Awards, dan Karim Consulting Award itu lebih lanjut mengemukakan, bantuan modal Rp 1 juta dari Dompet Dhuafa Republika, setengahnya digunakan untuk membuat brosur, kartu nama, dan sebagainya. Peralatan kantor pun sangat terbatas, milik sendiri, dan hasil pinjam sana-sini. Seperti mesin ketik yang ia pinjam teman kos. Untuk keperluan operasional, pinjam motor milik penjaga kamar mandi masjid. Sedangkan dana yang Rp 500 ribu lagi disiapkan untuk memberikan pembiayaan kepada pedagang.

Visi ketiganya mendirikan BMT didasari tiga prinsip. Dia menuturkan, sejak dulu sampai sekarang, praktik pedagang kecil meminjam uang rentenir di seluruh daerah boleh dibilang tetap tinggi. BMT Beringharjo ingin memberikan edukasi pembiayaan syariah, pemberdayaan masyarakat, sekaligus menekan gerak para lintah darat. Semua kegiatan simpan pinjam di BMT Beringharjo selalu diiringi pendampingan agar pedagang kecil tetap fokus mewujudkan mimpi besarnya dan uang yang dipinjamkan tidak berubah fungsi dari produksi menjadi konsumsi.

Edukasi Syariah Melalui Dakwah

Sadar hanya memiliki modal kecil, BMT Beringharjo tidak langsung menyasar pedagang di Pasar Beringharjo yang memiliki modal besar. Apalagi pasar sudah dikuasai sistem rentenir sejak lama. “Kami harus menghadapi tantangan kerja berat, harus adu cepat dengan para rentenir. Bayangkan, pukul tiga dini hari mereka sudah ‘beroperasi’ merayu para pedagang. Kemudahan dan kecepatan mereka dalam memberikan pelayanan, itu yang perlu ditiru,” tutur Mursida.

Awalnya mereka mendekati para pedagang di emperan, penjual getuk, serta penjual cobek dan pisau. ”Kami lebih dulu mendekati pedagang yang rajin berjamaah di Masjid Muttaqien. Lama-kelamaan menyebar dari cerita satu ke yang lain,” ujarnya.

Mengedukasi para pedagang melalui media dakwah agar mereka memutus hubungan kemitraan dengan para rentenir kemudian menjadi anggota BMT Beringharjo adalah cara yang efektif. Caranya, dibentuk kelompok-kelompok pengajian. Ustadz yang memberikan pencerahan harus benar-benar membaur, dan pesan-pesannya ringan mudah dicerna. Dengan pendekatan dakwah, mereka jadi paham hukum riba, bagaimana mencari rezeki yang halal dan berdagang secara syariah. “Kami juga menanamkan kejujuran kepada mitra saat berdagang. Para mitra pedagang di BMT Beringharjo tidak boleh menyembunyikan kecacatan barang dagangannya. Itu penting karena dalam berdagang, kepercayaan adalah hal yang paling utama,” tutur Mursida.

Perkembangan Pesat Tidak Terduga

Di tahun pertama, anggota BMT berjumlah 20 orang termasuk tukang jaga sepeda di masjid, tukang bersih-bersih kamar mandi, dan tukang jaga WC. Anggota pertama yang bergabung dalam BMT-nya adalah, Bu Mariyem, seorang penjual pisau, cobek, dan sutil. Saat itu Bu Mariyem meminjam sebesar Rp 25.000, yang diangsur setiap hari sebesar Rp 1000.

Untuk menjadi anggota, syaratnya hanya memiliki KTP, membayar simpanan pokok Rp 25.000, dan simpanan wajib Rp 10.000, yang bisa dibayarkan selama setahun. Semua yang bertransaksi di BMT harus menjadi anggota. Sifat BMT berdasarkan pada koperasi, jadi hasilnya dari dan untuk anggota.

Pola yang diberikan BMT Beringharjo adalah edukasi. Para pedagang kecil biasanya hanya meminjam dana yang kecil. Sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu. BMT Beringharjo tidak menerapkan waktu cicilan yang kaku. Pedagang semampunya diberi waktu untuk mencicil, sambil terus-menerus diberi pendampingan. Mereka juga diajarkan untuk menabung dan berinfak semampu mereka.

Tabungan yang dimiliki para pedagang kecil perlahan-lahan terus bertambah. Meski hanya menabung Rp 1.000 tiap hari, lama-kelamaan jumlahnya bertambah signifikan. Dari tabungan tersebut para pedagang mampu menyekolahkan anak mereka.

Mursida pun membuat program sosial  dan pemberdayaan masyarakat. Di antara program yang bersifat sosial adalah tebar senyum berbagi sesama, beasiswa kepada anak nasabah dari sekolah dasar hingga menengah, juga klinik sehat Muttaqien.

Sedangkan program unggulan BMT dalam pemberdayaan masyarakat adalah Sahabat Ikhtiar Mandiri (SIM) dan Bina Mitra (Binar). SIM merupakan program yang bertujuan pada penciptaan peluang kerja dan peningkatan penghasilan rumah tangga. Sementara Binar merupakan program pendampingan satu tahun berupa pelatihan dan pembinaan. Yaitu pelatihan spiritual dengan penekanan pada pencapaian usaha yang maksimal dan berkah.




Ni Luh Puspa, Perempuan Asal Bali yang Mengemban Tugas Sebagai Wakil Menteri Pariwisata

Sebelumnya

Arifatul Choiri Fauzi, Mengemban Amanah Sebagai Menteri PPPA Kabinet Merah Putih

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Women