SW: Banjarmasin punya lebih dari 200 bank sampah. Dari produksi sampah 600 ton per hari, 15 persennya adalah plastik. Untuk saat ini, bisa dikatakan kami sudah mengurangi 30% dari total sampah plastik yang ada. Semua kegiatan yang kami lakukan terukur.
F: Apa yang masih ingin dikembangkan dari Banjarmasin?
SW: Banjarmasin adalah kota pelabuhan yang tidak besar. Bisa dibilang, kami tidak memiliki sumber daya alam padahal Kalimantan Selatan terkenal dengan batu bara. Karena itulah, kami mengupayakan pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat melalui pariwisata. Mulai dari penataan kota hingga launching kalender event wisata selama satu tahun. Di tahun 2019, ada 40 event yang kami gelar termasuk yang berskala nasional.
Untuk itu pemerintah mendorong pengembangan usaha jasa terkait pariwisata, termasuk menumbuhkan kesadaran wisata di masyarakat. Dengan kesadaran bahwa pariwisata adalah jalan untuk memasarkan berbagai produk masyarakat Banjarmasin, diharapkan perekonomian mereka bisa lebih meningkat.
F: Bagaimana dengan pemberdayaan perempuan dan anak di Banjarmasin?
SW: Saya menjabat Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di Banjarmasin. Berangkat dari keprihatinan terkait masalah kekerasan dalam rumah tangga juga kekerasan terhadap anak, alhamdulillah kinerja P2TP2A efektif menangani banyaknya kasus setiap tahun. Kami mengupayakan kegiatan yang bersifat pencegahan (pembekalan wawasan dan ilmu-red). Contohnya sekolah ibu dan kelas pendidikan pra nikah. Angka pernikahan usia dini di Banjarmasin terbilang tinggi.
F: Apa penyebab utama maraknya pernikahan dini di Banjarmasin?
SW: Jika di daerah pedesaan, pernikahan dini biasanya terkait aspek sosial, ekonomi, pendidikan yang rendah, juga ketakutan tidak beralasan orangtua anaknya tidak laku. Sedangkan di Banjarmasin, umumnya terjadi karena pergaulan bebas. Inilah PR yang terus kami kawal.
F: Bagaimana Ibu dan Bapak menyikapi beratnya tanggung jawab sebagai pemimpin?
SW: Kami menyadari bahwa amanah ini akan dipertanggungjawabkan sehingga Bapak dan saya berusaha melakukan hal yang terprogram dan terukur. Ketika kita menjalankan satu program, kami berharap pencapaiannya bisa kami maksimalkan. Bisa jadi tidak semuanya bisa tersentuh secara maksimal tapi kami tetap mengupayakan sebaik mungkin.
F: Dengan begitu banyak aktivitas, bagaimana menjaga family time selalu ada?
SW: Saya mengondisikan bahwa saya selalu ada untuk anak-anak. Jadi kalau sudah di rumah, ya waktu saya untuk mereka. Sesibuk apapun, dalam sepekan, saya memastikan ada kegiatan bersama dengan mereka.
F: Bagaimana cara menyikapi penggunaan gawai pada anak-anak?
SW: Kami sebagai orangtua berkomitmen tidak akan memberikan gadget sebagai hak milik anak sampai mereka lulus SMP. Tentu saja, ada kesepakatan untuk pembatasan waktu penggunaan gadget yaitu di akhir pekan. Karena anak memang tidak bisa dijauhkan dari lingkungan sekitarnya yang memainkan gadget, konsekuensinya adalah saya harus mendampingi dan mengawasi penggunaannya, termasuk mem-protect konten apa saja yang tidak boleh mereka lihat.
F: Seperti apa sosok Kartini masa kini menurut Ibu?
SW: Bicara tentang Kartini identik dengan emansipasi. Tetapi kalau saya mempelajari ide-ide atau pemikiran R.A. Kartini, Kartini zaman sekarang itu seperti kata R.A. Kartini dalam salah satu kutipan suratnya. Bahwa kita bisa menjadi manusia seutuhnya tanpa meninggalkan jati diri kita sebagai perempuan yang seutuhnya. Jadi, setiap perempuan bisa berperan sebagaimana pandangan umum tentang partisipasi kita sebagai pribadi, tetapi kita tidak boleh meninggalkan kodrat kita sebagai perempuan.
F: Apa pesan Ibu untuk perempuan Indonesia?
SW: Saya sangat terkesan dengan kutipan surat R.A. Kartini di atas. Jadi tuntutan kita untuk berinteraksi, kemudian untuk beraktifitas, mengekspresikan kapasitas kita, tentu tidak boleh meninggalkan hal yang kodrati dari diri kita, yaitu menjadi ibu dari anak-anak dan menjadi pendamping bagi suami kita di rumah. Karena dengan itulah kita bisa memastikan bahwa anak-anak akan terlahir sebagai generasi terbaik dari rumah kita.
KOMENTAR ANDA