Tiga orang itu serentak menjawab salam saya. Salah satunya bertopi putih. Berbaju panjang. Berjenggot. Masih sangat muda.
Saya sulit ngobrol dengan mereka. Tidak ada yang bisa berbahasa Inggris. Saya jelaskan bahwa saya dari Indonesia. Yang bertopi putih itu langsung serius. Seperti sedang berpikir keras.
“Apa kabar,” katanya tiba-tiba.
Rupanya ia tadi berpikir keras untuk mengingat sejumlah kata dalam bahasa Indonesia.
“Kabar baik,” jawab saya. “Bisa berbahasa Indonesia?” tanya saya.
“Bi.. bi.. sa.. melayu. Sikik,” jawabnya dengan susah payah.
Kian senja kian banyak yang masuk halaman masjid. Salah satunya menyapa saya. Yang bertopi putih itu memperkenalkan saya dari Indonesia.
Yang baru datang itu langsung nerocos. Cakap Melayu. Lancar sekali. Namanya: Asy'ari bin Ismail.
“Kami ini orang Cham,” katanya. “Ia bukan orang sini,” tambahnya sambil menunjuk yang bertopi putih. “Ia ini orang Tabligh.”
Ternyata ada juga Jamaah Tabligh di Vietnam yang komunis. Yang kalau di Jakarta pusatnya di masjid Kebon Jeruk di Jalan Hayam Wuruk.
“Kami ada 13 orang Tabligh di masjid ini. Besok sudah akan pindah ke daerah lain,” ujar si topi putih lewat penerjemah Melayu.
Suku Cham sekarang sudah sangat minoritas di Vietnam. Tinggal sekitar 5 persen. Atau sekitar 4 juta orang. Umumnya tinggal di wilayah paling Selatan Vietnam. Yang berbatasan dengan wilayah paling Selatan Kamboja. Yang juga banyak suku Cham-nya.
Suku Cham inilah yang umumnya beragama Islam. Ahlus sunnah wal jamaah. Sebelum berbuka tahlil bersama dulu.
Dulunya kerajaan Cham sangat luas. Mencakup Vietnam selatan, Kamboja, sebagian Timur Thailand dan Semenanjung Malaysia. Kerajaan Cham berbahasa Melayu lama. Kini tinggal sembilan kecamatan yang masih terbiasa dengan bahasa Melayu.
Sambil tahlil kita sudah duduk berbaris berhadapan. Di teras masjid. Menghadap makanan di piring: kurma, ote-ote polos dan pisang Ambon. Saya makan pisang dan ote-ote. Kurmanya biar di makan orang di depan saya. Hanya dua butir.
Waktu saya masuk masjid terlihat tiga anak muda memperhatikan saya. Lalu saling berisik. Saya salami mereka
“Pak Dahlan Iskan ya?” tanyanya.
“Tadi kami tidak yakin. Sekarang yakin. Ada tahi lalat di bawah mata,” katanya. Ternyata mereka tadi Googling. Saat saya masih ngobrol di halaman. Cari foto saya. Untuk mencari tahi lalat itu.
Mereka ternyata Syafin Kurniawan (ITS kimia), Muhibudin (Unlam Banjarmasin) dan Dani Hamdani (Unisba Bandung). Lagi rapat di Ho Chi Minh. Mewakili perusahaan mereka Garuda Food.
Belakangan datang lagi dua anak muda Indonesia: Irvan Effendi dan Bambang Irwanto. "Kami lagi visit customer," ujar Irvan, dari pabrik kertas rokok di Karawang. Banyak perusahaan rokok di Vietnam yang ternyata pakai kertas dari pabrik grup Djarum itu.
Sehabis salat maghrib saya bergegas balik ke hotel. Ada acara yang harus saya penuhi. Orang Cham tadi mengejar saya: harus ikut makan bersama.
Saya tetap pamitan. Ia tampak kecewa. Lalu lari ke arah dapur. Mengambil makanan. Agar saya membawanya. Saya cium aromanya: nasi dan gulai kambing.
KOMENTAR ANDA