KABUPATEN Banyuwangi, Jawa Timur, menjadi saksi perkembangan agama Islam di Nusantara, terutama dalam hal penulisan Al Quran. Di Banyuwangi masih dapat ditemukan naskah atau mushaf Al Quran kuno yang masih berada dalam kondisi baik
Mempelajari teknik penulisan mushaf kuno itu bermanfaat bagi umat Islam di Indonesia, dan masyarkat umumnya, untuk memahami kekayaan sejarah khususnya sejarah perkembangan Islam di Indonesia.
Sebanyak lima naskah Al Quran kuno dan sejumlah naskah keislaman lain dipamerkan Komunitas Pegon di SMP Unggulan Al Anwari, Kertosari, Banyuwangi, Sabtu (25/5).
Umumnya naskah-naskah yang dipamerkan berusia lebih dari satu abad. Hal ini terlihat dari jenis kertasnya yang terbuat dari kertas dluwang dan kertas Eropa yang sudah tampak tua dan rapuh.
“Dari jenis kertasnya bisa diketahui usianya. Seperti dari watermark kertasnya. Dari sana bisa diketahui usianya. Setidaknya lebih dari satu abad,” ujar pendiri Komunitas Pegon, Ayung Notonegoro dalam keterangan yang diterima redaksi.
Salah satu naskah yang memiliki identitas lengkap adalah mushaf yang didapat dari koleksi almarhum KH. Saleh Syamsudin Lateng (w. 1951). Dalam naskah tersebut terdapat kolofon atau catatan produksi yang menyebutkan naskah selesai ditulis pada Jumadil Akhir 1282 H atau sekitar 1860 M.
Disebutkan bahwa penulis mushaf ini adalah Mas Ahmad bin Mas Mangun Sastra Banyuwangi.
“Dari namanya terlihat jika beliau orang lokal,” ujar Ayung.
Lebih jauh Ayung membandingkan mushaf yang ditulis Mas Ahmad itu dengan Al Quran kuno Banyuwangi yang kini disimpan di Perpustakaan Nasional Malaysia yang ditulis Mas Khalifah Ibnu Al Habib Al Masfuh Banyuwangi.
Dari namanya, Mas Khalifah dapat disimpulkan sebagai seorang keturunan Arab. Naskahnya ini ditulis pada 6 Jumadits Tsani 1221 H atau sekitar 1806 M.
Dari perbandingan kedua naskah ini , sambung Ayung, dapat disimpulkan bahwa pada awal abad 19 penulis Al Quran di Banyuwangi masih dari kalangan keturunan Arab. Baru sekitar 60 tahun kemudian ada penulis Al Quran dari kalangan masyarakat lokal.
Hal tersebut, masih sambung Ayung yang menuliskan buku Kronik Ulama Banyuwangi, sesuai dengan perkembangan Islam di Banyuwangi.
Dalam catatan Y.W. De Stoppelaar, Blambangansch Adatrech (1926), agama Islam menjadi mayoritas di Banyuwangi baru pada 1840 ke atas.
Seiring dengan meningkatkan jumlah umat Islam di Banyuwangi, pendidikan Islam pun meningkat hingga melahirkan penulis Al Quran dari Banyuwangi .
Tak hanya memamerkan naskah-naskah Al Quran kuno, dalam kesempatan tersebut Komunitas Pegon juga melakukan pentashihan naskah Al Quran kuno.
Pentashihan dilakukan oleh para hafidz atau penghafal Al Quran yang mengajar di SMP Unggulan Al Anwari. Pentashihan dilakukan untuk memastikan akurasi Al Quran kuno yang ditulis tangan tersebut.
Menurut salah seorang anggota tim pentashih Al Quran kuno, Ustaz Afifi, pihaknya menggunakan naskah Al Quran yang telah ditashih oleh Lajnah Pentashih Mushaf Quran (LPMQ) Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai pembanding.
LPMQ baru terbentuk pada 1957. Itu berarti bada setelah itu naskah-naskah Al Quran di Indonesia mengalami standarisasi.
“Dari pembacaan kita (terhadap naskah Al Quran kuno) memang ada sejumlah kekeliruan,” ujar Ustaz Afifi.
Misalnya pada surat Al Baqarah, ada sejumlah kesalahan. Seperti pada ayat ke-143 yang seharusnya ditulis “al-rasulu”, tertulis “rasula”.
Lalu pada ayat ke-153 juga demikian. Seharusnya tertulis “ash-shafa” dengan huruf “shat”. Bukan “as-safa” dengan “sin” sebagaimana yang tertera di mushaf karya Mas Ahmad bin Mas Mangun Sastra Banyuwangi.
Kesalahan demikian, imbuh anggota tim yang lain, Ustaz Irfan, bisa jadi karena keterbatasan penulis dalam penguasaan gramatika bahasa Arab, seperti halnya ilmu nahwu dan sharaf. Sehingga silap terhadap detail Al Quran.
KOMENTAR ANDA