Saya sangat sibuk. Saya tidak pernah ingat ulang tahun siapa pun. Tidak untuk anak-anak saya juga. Saya masih sangat terpengaruh budaya desa miskin. Desa saya. Tidak ada budaya ulang tahun. Termasuk untuk saya sendiri.
Banyak juga teman yang mengingatkan saya: mbok sesekali sowan Bu Ani. Saya pun punya juga niat seperti itu. Tapi selalu saja tidak pernah terjadi.
Tapi saya sangat hormat kepada beliau. Setiap bertemu saya cium tangan beliau. Di acara-acara. Atau ketika saya dipanggil Pak SBY ke Cikeas. Saya selalu bersikap tawaduk. Perasaan saya: beliau itu juga ibu saya.
Seingat saya tidak pernah saya ngobrol dengan beliau. Eh, pernah terjadi. Sekitar tiga menit. Waktu saya mengusulkan agar beliau berkenan terjun sebagai panglima. Dalam menyukseskan keluarga berencana di Indonesia. Saya risau. Pembangunan ekonomi yang sangat baik di zaman Pak SBY bisa digerogoti oleh pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali.
Yang kedua ketika berada di Amerika. Di sela-sela Bapak Presiden SBY menghadiri pertemuan G-20. Itulah tahun bertama Indonesia masuk negara G-20.
Waktu itu saya ingin menulis tentang hubungan Bu Ani dengan putranya. Khususnya dengan Mas Ibas. Yang sangat disayangi beliau. Sekitar 20 menit saya diterima beliau di Washington. Tapi saya tidak memfungsikan diri sebagai pejabat negara. Saat itu saya adalah wartawan.
Istri sayalah yang lebih sering bertemu beliau. Tapi juga sebatas di kegiatan sosial. Terutama di program Indonesia Hijau. Penanaman satu miliar pohon. Yang dipimpin Ibu Ani.
Saya bukan saja menghormati beliau. Saya juga mengagumi beliau. Terutama kecerdasan beliau. Bu Ani itu cerdas. Dan orangnya tegas. Juga disiplin. Tentu saya juga kagum kecantikan dan keanggunan beliau.
Sering kali saya menghadiri pidato beliau. Saya selalu berisik kepada menteri yang duduk di sebelah saya: pidato Bu Ani lebih bagus dari pidato Pak SBY.
Itu sungguhan. Bu Ani selalu bisa menyelipkan humor dalam pidatonya. Tanpa merusak keeleganan pidato itu. Kecerdasan beliau menyelipkan humor mirip kebiasaan pidato orang Amerika.
Jadi, kalau pernah ada yang ingin mencapreskan Bu Ani, terus terang, sebenarnya sangat layak. Beliau punya kemampuan di situ. Entah apakah beliau juga punya keinginan. Hanya terlihat tidak sopan. Karena beliau isteri Pak SBY. Masak digantikan isterinya.
Tapi jangan dihubungkan dengan kapasitas. Dari segi kemampuan Ibu Ani mampu. Tapi Pak SBY memutuskan: Bu Ani tidak akan nyapres.
Nyuwun duko, Bu Ani. Maafkan saya.
KOMENTAR ANDA