Tentu saja saya juga bertanya dalam hati: mengapa semahal itu. Padahal, menurut media yang sama, PLN akan membeli listrik dari pembangkit itu sebesar USD 17 sen per kWh. Atau sekitar Rp 2.200/kWh.
Dalam hal ini PLN yang harus ‘berkorban’. Yang harus membeli listrik begitu mahal. Padahal PLN hanya bisa menjualnya ke masyarakat dengan tarif USD 10 sen per kWh.
Padahal PLN bisa beli dari PLTU batu bara jauh lebih murah. Bisa hanya dengan harga USD 6 sen per kWh (di Jawa).
Maka merencanakan pembangkit listrik dari sampah jangan pernah bicara bisnis. Tujuan utamanya harus ini: menyelesaikan soal sampah. Bukan menghasilkan listriknya.
Maka skema yang terbaik adalah: sebagian biaya pembangunan itu dari anggaran negara. Atau daerah. Atau dari iuran pembuangan sampah.
Memang bisa juga dengan cara ‘menginjak kaki’ PLN seperti itu. Toh yang diinjak tidak mengeluh kesakitan.
Saat saya ke lokasi, proyek itu suasananya lagi sepi. Tidak ada pekerja proyek. Lagi liburan Lebaran. Tapi di pintu proyek saya baca tulisan besar: YCIH. Tidak ada kata-kata lainnya.
Saya langsung tahu itu. Saya kenal itu. Saya sering melihatnya di Tiongkok. Di papan-papan proyek di sana. Saya hafal kepanjangannya. Itu singkatan dari Yunnan Construction and Investment Holding.
Sebuah perusahaan kontraktor besar dari Tiongkok. Yang namanya terus melejit. Tahun lalu tercatat sebagai kontraktor terbesar ke-5 di Tiongkok. Yang berasal dari provinsi pedalaman. Di sudut tenggara negara: Yunnan.
Proyek pertama YCIH di Indonesia ada di Pulau Bintan. Di seberang Singapura. Di sebelah Batam.
YCIH membangun hotel bintang lima di Bintan: The Haven Lagoi Bay. Bekerjasama dengan kontraktor swasta nasional Total Bangun Persada. Hotel itu terdiri dari dua tower dengan jumlah kamar 250.
Saat membaca YCIH itu saya terperangah. Pengusaha lokal Surabaya pun ternyata bisa menggandeng raksasa Tiongkok seperti YCIH.
Partner PLTU sampah Surabaya ini adalah PT Sumber Organik. Milik pengusaha Agus Nugroho Santoso. Yang juga mengoperasikan pembangkit gas metan di lokasi yang sama. Di Benowo.
Saya banyak kenal pengusaha Tionghoa Surabaya. Tapi kebetulan tidak kenal pengusaha yang satu ini. Saya sudah terlalu lama jarang di Surabaya.
Sebagai penonton sepak bola saya senang ada proyek itu. Yang akan mengatasi 1.500 ton sampah Surabaya per hari. Sebagai warga negara Indonesia saya hanya akan bisa diam saja melihat mahalnya biaya itu. Hanya di dalam hati saya berbisik: proyek ini mahal sekali.
Saya tidak bisa mengubahnya dengan tangan. Atau dengan ucapan.
Saya tahu: mengucapkan di dalam hati adalah selemah-lemah ucapan.
KOMENTAR ANDA