Murid sekolah ini memang hanya 24 orang. Termasuk TK sampai kelas 8. Gurunya 3 orang. Ditambah satu kepala sekolah dan satu sopir bus. Sopir bus itu pun merangkap tukang potong rumput dan bersih-bersih.
Kepala sekolah itu pun merangkap apa saja: menyiapkan makan siang murid, mengajar, membuat peraga, dan membenahi yang tidak rapi.
Begitu sedikit muridnya. Kalau satu tingkat harus satu kelas gurunya tidak cukup. Ruangannya juga mubazir.
Maka satu ruang pun diisi 8 murid yang beda-beda kelasnya. Murid kelas 6-7-8 jadi satu ruangan. Kelas 3-4-5 satu ruang. Kelas 1-2 satu ruangan. TK dan playgroup satu ruangan.
Kota Starbuck ini penduduknya memang hanya 300 orang. Dipimpin seorang walikota dan dewan kota.
Saya sendiri tidak menyangka akan lewat kota kecil ini. Dalam perjalanan darat dari Kota Lewiston di Idaho ke Seattle di negara bagian Washington. Saya memang sengaja lewat pedesaan. Lewat jalan-jalan kecil. Naik-turun gunung. Lewat lautan ladang gandum yang siap panen.
Di daerah selatan sudah bulan lalu panen. Seperti Texas. Lalu giliran wilayah lebih Utara. Seperti Oklahoma. Kansas. Dan kini Washington State.
Gejala di pedesaan Amerika ternyata sama saja dengan di mana saja. Kian ditinggalkan penduduknya. Terutama anak mudanya. Banyak sekali kota kecil di pedalaman yang kini penduduknya hanya sekitar 100 orang.
Dulu, tahun 1980-an, penduduk Kota Starbuck masih 2000-an orang. Dulu ada kereta api lewat sini. Dulu juga ada proyek bendungan. Sekarang hanya ada pertanian.
Pun sejak dua tahun lalu lebih parah lagi. Pemerintah negara bagian Washington menghentikan anggaran untuk sekolah ini.
"Lalu, dari mana gaji Anda?“ tanya saya.
"Dari sisa saldo lama," katanya.
Sekolah ini adalah sekolah negeri. Hanya siswa TK yang bayar uang sekolah: USD 100 per bulan. Sekitar Rp 1,4 juta.
"Saya terus memperjuangkan agar sekolah ini kembali mendapat anggaran. Kalau tidak, dua tahun lagi terpaksa tutup," katanya.
Saya pun minta izin untuk meninjau ke dalam. Dia merogok saku celananya. Mengambil kunci. Saya baca tahun yang tercantum di papan nama sekolah itu: didirikan 1882.
Sudah hampir 150 tahun.
Saya pun masuk-masuk ke semua ruangan. Ada hall olahraganya yang besar. Pun di samping sekolah ada lapangan sepak bola. Termasuk panggung mininya. Saya duduk di panggung itu bersama kepala sekolah. Seolah lagi menyaksikan pertandingan.
Kalau sekolah ini tutup, ke mana anak-anak Starbuck akan sekolah?
“Harus naik bus sejauh 50 km. Di sana ada sekolah," katanya.
Saya mengelus dada. Dalam. Hati.
Saya pun pamit. Masih tiga jam lagi menuju Seattle.
KOMENTAR ANDA