Kemudian, Fitria melanjutkan dengan level lebih tinggi penanganan medis pada pasien infertilitas, yakni inseminasi. Dengan demikian, ini adalah kali kedua pengalamannya menjalani inseminasi. Namun hasilnya tetap nihil. Dia kembali gagal.
"Dokter kemudian membesarkan hati saya dan mengatakan bahwa ada tahapan yang paling tinggi dari penanganan masalah infertilitas, yakni bayi tabung atau dalam bahasa medis lebih dikenal dengan istilah In Fitro Vertilization (IVF)," cerita Fitria.
"Akhinya bismillah, saya coba bayi tabung," kata Fitria.
Menurutnya, pengalaman menjalani proses bayi tabung bukan merupakan hal yang mudah. Karena banyak hal yang harus dipersiapkan secara matang.
Dari segi finansial, persiapan melakukan proses bayi tabung membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pada saat itu, estimasi biaya yang dibutuhkan berkisar antara 70 hingga 100 juta rupiah.
Dari segi fisik, baik istri maupun suami harus sama-sama berada dalam kondisi yang fit dan siap untuk menjalani prosedur yang ada. Dalam hal ini, sang wanita harus memiliki kesiapan fisik yang lebih matang, karena rangkaian prosedur lebih banyak dilakukan pada wanita.
Sedangkan dari segi mental, Fitria dan suami juga harus mematangkan diri untuk siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi, termasuk resiko bahwa bayi tabung gagal. Pasalnya, meski upaya medis tertinggi dalam infertilitas, namun bayi tabung tidak memberikan jaminan akan berhasil atau hamil.
"Dengan konsekuensi yang dipahami, saya pun menjalani proses itu," kata Fitria.
Proses bayi tabung lebih banyak membutuhkan tindakan dan prosedur medis yang dijalankan pada wanita, daripada pria.
"Detilnya agak susah dijelaskan, tapi pada intinya wanita harus siapkan mental ikhlas disuntik tiap hari. Karena ada beberapa obat hormonal untuk bayi tabung yang disuntikan di area tiga jari di sekitaran pusar yang merupakan area rahim," jelas Fitria.
"Tujuannya adalah agar membuat area rahim menjadi lingkungan yang nyaman dan cocok untuk proses persiapan bayi tabung. Tapi ada juga yang tujuannya untuk mematangkan sel telur," sambungnya.
Setelah beberapa minggu prosedur itu dia jalankan, tiba wantunya untuk mengambil sel telur.
"Kondisi saya saat itu dinyatakan sel telur saya bagus dan istilahnya pas untuk dipanen," tutur Fitria.
Dia menjelaskan, pada proses itu, dia menghasilkan empat sel telur. Namun hanya dua yang ditanam, karena sisanya dinyatakan tidak bagus.
Dua sel telur yang dianggap bagus itu kemudian dipertemukan dengan sperma dan setelah menjadi embrio, kembali dimasukkan ke dalam rahim Fitria.
"Setelah proses penanaman embrio, dokter memberikan informasi bahwa saya harus menunggu selama 10 hari untuk tes darah dan mengetahui apakah embrio itu berkembang atau tidak di dalam rahim," ungkap Fitria.
"Karena setelah ini, semuanya takdir Allah. Embrionya sedang berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi rahim saya," tambahnya.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Setelah menunggu selama 10 hari dan melakukan tes darah, Fitria dan suami pun harus kembali menelan pil pahit. Hasilnya tetap negatif, dia tidak hamil. Proses bayi tabung itu pun gagal.
"Saya sampai tidak bisa berkata-kata. Harapan saya pupus saat itu. Karena bayi tabung adalah proses penanganan tertinggi dalam masalah infertilitas, saya bisa apa lagi?" ujarnya, seraya membendung air matanya.
Harapan Terakhir
Pasca gagal dengan prosedur bayi tabung, Fitria menuturkan bahwa dia dan suami berada di titik terendah. Mereka hampir putus asa dalam berusaha untuk memiliki buah hati. Bahkan sempat terlintas wacana untuk berhenti berusaha dan mengadopsi anak.
"Tapi pada akhirnya kita memutuskan untuk melakukan ikhtiar untuk yang terakhir kalinya. Kita mencoba proses bayi tabung untuk kedua kalinya, tapi di Penang (Malaysia)," cerita Fitria.
Meski dilakukan di negara tetangga, namun Fitria menjelaskan bahwa prosedur medis yang dia dijalani serupa seperti yang dia jalankan di Indonesia.
"Hanya saja, pada proses ini persiapan dari diri saya lebih matang," ungkapnya.
Dia menambahkan bahwa selama masa persiapan bayi tabung di Penang, dia mendapat banyak referensi dari sesama pasien dari Indonesia yang juga menjalani proses yang sama.
KOMENTAR ANDA