Gelombang Protes Di India/Net
Gelombang Protes Di India/Net
KOMENTAR

GRUP keluarga di aplikasi WhatsApp di India menjadi problematika tersendiri di tengah kontroversi Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru di negeri Bollywood tersebut.

Sejumlah anak muda, wanita maupun pria, menyuarakan keprihatinan mereka soal perpecahan yang terjadi di grup WhatsApp keluarga akibat kontroversi tersebut. Hal itu terjadi karena maraknya penyebaran informasi palsu dan menyimpang mengenai situasi yang terjadi.

Diketahui bahwa kaum muda, terutama wanita, telah berada di garis depan gelombang protes yang terjadi di India akibat UU tersebut yang dianggap anti-Islam tersebut.

Salah seorang wanita muda yang menyebut namanya Priya, merupakan salah satu orang yang aktif ikut turun ke jalan di tengah gelombang protes penolakan akan UU tersebut. Dia mengaku bahwa hanya ada dua hal yang dia takuti saat ini, pertama adalah polisi anti huru hara dan yang kedua adalah ayahnya.

Dia mengaku bahwa ayahnya kerap menerornya setelah tahu bahwa dia ikut dalam aksi protes di jalanan. Ayahnya bahkan selalu mencaritahu keberadaannya dan berupaya menghentikan pendidikannya.

"Dia (ayah) hanya memiliki kebencian terhadap Muslim. Setiap kesempatan yang hilang dalam hidupnya, dia menyalahkan mereka," kata wanita 20 tahun itu.

"Saya telah mencoba berkali-kali untuk berbicara dengannya. Tetapi setiap percakapan kami berakhir dengan dia mengancam akan menarik saya keluar dari perguruan tinggi dan membuat saya menikah," sambungnya, seperti dimuat AFP awal pekan ini.

Priya menjelaskan bahwa ayahnya kerap mengirim informasi spam di grup WhatsApp keluarga ataupun pesan langsung kepadanya. Informasi yang dimaksud adalah berita serta video palsu mengenai kontroversi UU tersebut,

"Ini benar-benar membuat frustasi," kata Priya.

Dia mengaku bahwa setiap kali ayahnya mengirimkan informasi palsu, dia membalas dengan tautan ke situs web pengecekan fakta. Namun hal tersebut hanya akan berakhir dengan ancaman sang ayah untuk mengakhiri pendidikan memaksanya untuk menyembunyikan pandangan politiknya dari orang tuanya.

Apa yang dialami Priya juga dialami oleh banyak orang di India yang ikut ambil bagian dalam aksi protes jalanan menentang UU tersebut.

Tidak jarang, grup WhatsApp keluarga berisi "peperangan" mengenai UU tersebut yang kemudian dikaitkan dengan sentimen anti-Islam di India.

Grup keluarga di aplikasi WhatsApp sendiri saat ini menjadi media yang sangat efektif untuk menyebarkan informasi dengan cepat. Pasalnya, melalui aplikasi tersebut, para pengguna bisa dengan mudah membagikan tautan web, gambar, video ataupun informasi lainnya.

Namun kelemahannya, penyebaran informasi semacam itu bisa memberikan dampak negatif karena kurangnya penyaringan atas kredibilitas konten yang dibagikan. Dengan demikian, grup keluarga di WhatsApp rentan mengalami penyebaran informasi palsu.

Pemimpin redaksi Pemuda Ki Awaaz, yakni situs web berita crowdsourced yang berfokus pada pemuda India, Anshul Tewari menjelaskan bahwa perdebatan di grup WhatsApp keluarga tidak jarang memicu perpecahan dan konflik.

"Orang-orang muda dewasa ini sangat peduli untuk memiliki suara dan didengar," kata Tewari.

Dia mengambil contoh pada gerakan protes di Hong Kong dan gelombang aksi perubahan iklim berjalan di seluruh dunia.

Namun dia menggarisbawahi, tidak seperti rekan-rekan global mereka, anak-anak muda India harus menemukan cara untuk mengekspresikan diri mereka sendiri dengan latar belakang budaya yang menempatkan nilai besar pada otoritas orangtua.

"Dalam banyak kasus, orang tua India merasa berhak untuk memutuskan siapa yang harus disayangi anak-anak mereka, bagaimana mereka harus hidup dan bahkan bagaimana mereka harus berpikir," kata Tewari.

Kondisi tersebut semakin rumit terutama ketika menyangkut kehidupan wanita muda.

Seperti Priya, seorang wanita muda lainnya yang berprofesi sebagai editor video yang berbasis di Mumbai telah secara aktif terlibat dalam demonstrasi menentang UU kewarganegaraan tersebut. Dia melakukan aksi atas dasar sukarela karena dia menganggap ada pelanggaran berat hak asasi manusia di balik UU tersebut.

Namun padangannya tersebut memicu konflik di keluarganya yang merupakan fanatik Hindu.

"Saya dulu merasa benar-benar sendirian sampai tahun ini, ketika saya menemukan komunitas online di Twitter yang sedang mengalami konflik serupa di rumah," katanya.

"Juga, pada akhirnya, saya tahu bahwa perjuangan saya tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang orang lain di negeri ini, terutama Muslim, lalui," sambungnya.




Kementerian Agama Luncurkan Program “Baper Bahagia” untuk Dukung Ketahanan Pangan Masyarakat Desa

Sebelumnya

Fitur Akses Cepat Kontak Darurat KDRT Hadir di SATUSEHAT Mobile

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News