”Mesin ini buatan kami sendiri,” ujar Mahmudsyah, staf di PT itu. ”Habisnya tidak sampai Rp 1 miliar. Bisa untuk 6 ton sehari,” tambahnya.
Memang tidak terlihat ada merk asing di mesin penggilingan beras itu. Bahkan tidak ada merknya sama sekali.
Ups... Ada.
Ada gambar tawon di bagian belakangnya. ”Kami beri gambar TAWON. Sekadar agar ada merknya,” ujar Mahmudsyah sambil tertawa.
Tapi diam-diam Mahmudsyah punya 'dendam' di balik kata TAWON itu. Ia pun membisiki saya: TAWON itu singkatan Teknologi Anak Wonogiri.
Ia memimpikan suatu saat nanti Pengayom punya divisi teknologi pertanian yang cocok untuk pedesaan.
Di dalam praktiknya, PT Pengayom membeli gabah milik petani pemegang saham. Yakni petani yang menjadi anggota Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) dan yang menjadi anggota Asosiasi Petani Organik.
Dua kelompok tani itulah pemegang saham PT Pengayom Petani Sejagad. Asosiasi Petani Organik memegang 50 persen saham, Gapoktan 35 persen, Hanjar 10 persen dan Seknas BUMP 5 persen.
Jauh-jauh hari petani sudah tahu: berapa harga jual gabah ke PT Pengayom saat panen tiba. PT Pengayom lantas mengeringkan gabahnya --masih dengan cara dijemur di lantai. Lalu menggilingnya di mesin Tawon.
Ketika beras itu dijual didapatlah selisih harga. Sebagian laba itu menjadi keuntungan PT Pengayom. Tapi sebagian besar dikembalikan ke petani dalam bentuk --hanya istilah-- cashback tadi.
Pernahkah rugi? Hasil jualan berasnya lebih rendah dari hasil pembelian gabah plus biaya pengolahan?
”Tidak pernah. Kami selalu untung. Kadang harus kami tunggu harga baik dulu,” ujar Hanjar yang lulusan Pondok Modern Gontor Ponorogo ini. Masa tunggu itu paling lama dua bulan.
Itu berarti memang ada fungsi ”resi gudang” di dalam PT ini.
Hanjar juga mengusahakan pasar yang harganya bisa diikat dalam kontrak jauh-jauh hari. Misalnya supermarket.
Di sinilah PT Pengayom juga bisa memfungsikan diri sebagai Bulog untuk para anggotanya. Yakni untuk menjaga agar harga gabah tidak jatuh pada masa panen.
Bupati Wonogiri, Joko Sutopo pun akhirnya juga percaya pada PT Pengayom. Bupati membuat keputusan berani: menunjuk PT Pengayom menjadi pelaksana penyaluran beras untuk orang miskin. Yakni program pemerintah yang dulu diserahkan ke Bulog.
Lewat PT Pengayom itu, Bupati Sutopo bisa memangkas proses yang panjang.
Petani menyerahkan gabah ke Pengayom. Pengayom menyerahkan beras ke orang miskin. Tidak ada peran tengkulak di proses ini.
Jalur aliran berasnya pun pendek. Orang miskin bisa mendapat beras yang lebih baik.
Terakhir ini PT Pengayom mendapat kepercayaan lebih tinggi lagi: diminta mengelola gudang besar di Wonogiri yang yang sudah bertahan-tahun nganggur.
Dengan 'cashback' tiap musim panen itu petani sudah merasa mendapat deviden.
Karena itu di setiap RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) tidak ada permintaan bagi deviden. Belum pernah ada pembagian laba dalam bentuk deviden murni.
”Deviden tidak dibagi untuk terus menjadi laba ditahan. Uangnya untuk pengembangan perusahaan,” ujar Hanjar.
Itulah sebabnya modal dasar PT Pengayom yang awalnya hanya Rp 250 juta kini sudah menjadi Rp 5 miliar. Dengan omzet yang sudah di atas Rp 100 miliar.
Memang Hanjar sangat mengeluhkan soal pajak. ”Ini kan usaha tani. Masih awal dan kecil. Tapi kami harus membayar pajak yang besar,” ujar Hanjar.
Saya jawab: Itulah konsekuensi lembaga berbentuk PT.
KOMENTAR ANDA