Presiden Jokowi saat menyalami Prof Asep Saifudin Chalim/Ist
Presiden Jokowi saat menyalami Prof Asep Saifudin Chalim/Ist
KOMENTAR

Tengah malam barulah Asep ke dapur. Ia mencucikan tempat masak santri lainnya, yang biasanya digeletakkan begitu saja tanpa dicuci. Tujuan lainnya: mendapatkan sisa nasi yang biasanya tertinggal di dasar tempat tanak. Yakni nasi yang sudah jadi intip-kerak.

Semua alat masak temannya bersih. Ia pun dapat makanan, sekali itu dalam sehari.

Di pondok itu Asep belajar kitab-kitab agama di malam hari. Pagi-pagi berjalan kaki ke SMPN 1 Sidoarjo, sejauh sekitar 5 Km.

Asep juga hanya mempunyai satu buku tulis, pelajaran apa pun ditulis di satu buku situ.

Gatot berteman akrab karena satu bangku dengan Asep di pojok paling belakang.

Pun waktu keduanya meneruskan sekolah di SMAN 1 Sidoarjo.

”Beliau itu pemberani. Waktu main sepak bola satu-satunya yang tidak pakai sepatu. Beliau tidak takut terinjak sepatu bola,” ujarnya.

Selama bersahabat, seingat Gatot, hanya sekali bertengkar. Tapi seru sekali. Dan lama sekali.

Penyebabnya tidak sepele. Itu terjadi waktu Gatot menulis cerita pendek. Tulisannya disalahkan oleh Asep. Gatot tidak mau terima itu.

Itu soal bunyi kokok ayam jantan.

”Bunyi kokok ayam jantan kok kukuruyuk,” ujar Asep seperti yang ditirukan Gatot.

Waktu itu Gatot lagi mendiskripsikan datangnya fajar pagi. Yang biasa ditandai dengan kokok ayam jantan: kukuruyuuuuuuuk!

”Bunyi kokok ayam itu kongkorongkoooong,” ujar Asep memberikan koreksi.

Pertengkaran pun terjadi. Tidak pernah terselesaikan.

Lalu Asep berhenti sekolah di kelas 2 SMA itu. Tidak ada lagi biaya setelah sang ayah meninggal dunia. Ia pun pamit kepada kiai pondok Al Khoziny.

”Waktu itu beliau sudah pandai matematika, bahasa Inggris dan bahasa Arab,” ujar Gatot.

Pamit ke mana?

Tidak tahu. Asep tidak punya tujuan pasti hendak ke mana. Ia pun berjalan ke timur. Ke arah Lumajang. Lalu Jember. Banyuwangi. Probolinggo. Akhirnya berhenti di Pasuruan. Ia mengajar matematika di sebuah sekolah di pedesaan Pasuruan.

Perjalanan itulah yang terpatri dalam otak dan hatinya: saat melihat banyaknya pabrik PMA di sepanjang jalan.

Saat meninggalkan pondok dan SMA Sidoarjo itu Asep hanya membawa satu tas. Isinya pun hanya dua stel baju dan dua buku: kamus bahasa Inggris dan Arab.

Di Pasuruan itu Asep ikut ujian persamaan SMA. Lulus. Lalu masuk IKIP Surabaya, jurusan bahasa Inggris. Dengan bekal ijazah sarjana muda Asep bisa mengajar lebih resmi. Lalu kuliah lagi di jurusan bahasa Inggris di IKIP Malang. Sampai menjadi sarjana.

Ia masih kuliah lagi di UIN Sunan Ampel Surabaya. Untuk jurusan sastra Arab. Sampai sarjana muda.

Saat di Surabaya itu Asep mendirikan pondok pesantren. Yakni di Siwalankert, sekitar 2 Km dari UIN Surabaya sekarang ini.

Asep tahu untuk mendirikan sekolah diperlukan syarat formal kesarjanaan. Ia pun kuliah S2 di Universitas Islam Malang. Lalu S3 di Universitas Merdeka, juga di Malang. Dan kini Asep menjadi Prof. DR. KH Asep Saifudin Chalim.

Presiden Joko Widodo hadir di acara pengukuhan Sabtu lalu. Saat menuju panggung Presiden Jokowi menghadap ke senat guru besar dulu. Lalu membungkuk khusu' memberi hormat. Demikian pula setelah turun dari podium. Kembali menghadap senat dan kembali membungkuk hormat.

”Bapak Presiden Jokowi itu orang sholeh,” ujar Kiai Asep saat memulai pidato. Waktu itu presiden belum tiba di tempat penganugerahan. ”Tempat yang disinggahi orang sholeh akan mendapat berkah,” tambahnya.




Ji Chang-wook Gelar Fansign di Jakarta 12 Mei Mendatang, Siap Suguhkan Pengalaman Istimewa bagi Para Penggemar

Sebelumnya

Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Disway