Indonesia klepek-klepek. MbS kok dilawan. Yang tertawa ngakak kayaknya Xi Jinping. Juga Narendra Modi.
Indonesia juga bisa sedikit tersenyum. Apalagi Pakistan.
Tiongkok yang baru terpukul virus Corona langsung mendapat sumber energi sangat murah. Termurah sepanjang sejarah reformasi ekonominya.
Demikian juga India.
Dan Indonesia akan ikut menikmati: subsidi BBM yang mencapai lebih Rp 100 triliun itu akan langsung hilang.
Pertamina pun punya kesempatan kembali meraih laba gajah bengkak --kalau harga BBM telat diturunkan.
Tapi Indonesia juga kehilangan pendapatan dari bagi hasil migas. Termasuk dari pajak-pajak di sektor itu. Penurunan pendapatan pemerintah ini bisa di atas Rp 100 triliun.
Perusahaan-perusahaan migas Amerika --terutama perusahaan shale gas yang lagi gairah-gairahnya-- langsung bisa pingsan. Harga saham mereka di pasar modal bisa langsung terjungkal.
Biaya memproduksi gas dari retakan bebatuan itu bisa setara 45 dolar/barel. Kalau harga minyak hanya 30 dolar/barel matilah mereka.
Jadi, Saudi ini lagi marah ke Rusia atau ke Amerika?
Bagi Saudi kemarahannya itu disertai hitungan matang-emosional: biaya produksi migas di Saudi hanya 20 dolar/barel. Dengan menjual 30 dolar/barel masih bisa laba 10 dolar/barel. Dikalikan 12 juta. Dikalikan 30 hari. Dikalikan lagi 12 bulan.
Tolong hitungkan berapa labanya setahun.
Di Indonesia, biaya produksi minyak mentah itu di sekitar 40 dolar/barel. Kalau harga jualnya 30 dolar/barel Anda pun bisa membuat corporate decision: tutup saja.
Rusia juga tidak bisa memproduksi minyak mentah dengan 30 dolar/barel. Ladang minyaknya di laut. Yang di darat pun pipanya harus selalu dipanasi --agar tidak beku, agar bisa mengalir. Biaya memanasi pipa itu menambah dolar/barel.
Dengan harga minyak 30 dolar/barel ini ada yang ikut sekarat: Green energy. Ibarat kaca dilempari batu serpihannya membuat luka di mana-mana.
Adakah ini hanya drama satu babak? Ataukah perang Baratayudha dengan lakon MbS Tiwikrama?
KOMENTAR ANDA