"Mobil saya itu truk. Ada bak di belakangnya. Buku ditaruh di bak itu," kata Sahiduddin mengenang masa kecilnya.
Di tangan sang adik Pondok Gintung terus maju. Sekarang ini luasnya mencapai 40 hektare.
Saya mampir ke Pondok Gintung Rabu lalu. Saya ingin tahu seperti apa wujudnya di siang hari.
Tujuh tahun lalu saya sudah ke sana. Tapi menjelang subuh. Setelah salat subuh saya meneruskan perjalanan. Jadi, kalau ditanya Pondok Gintung seperti apa, jawaban saya: gelap sekali.
Ternyata siang harinya sangat indah --untuk ukuran pondok. Luas sekali. Besar sekali. Deretan bangunan bertingkatnya begitu banyak. Ditata secara apik. Ruang terbukanya luas-luas. Pepohonannya begitu rindang.
Sosok sang Kiai Sahiduddin ini sama sekali seperti bukan kiai. Lebih mirip seorang petani umumnya di Gintung. Bajunya, celananya, sandalnya sangat pedesaan.
Sang kiai juga tidak mengenakan kopiah atau surban. Rambutnya dipotong pendek dengan uban di sana-sini.
Saya pun minta diantar keliling pondok. Tidak mungkin berjalan kaki. Luas sekali.
Kita pakai mobil," ujarnya.
Ia panggil pak sopir supaya mengambil mobil.
Setelah mobilnya datang si sopir diminta turun. Kiai sendiri yang akan mengemudikan mobil itu: sedan Audi warna hitam yang relatif masih baru.
Semua bangunan bertingkat di Gintung itu Kiai sendiri yang menggambar. Tepatnya: yang merancang. "Saya menggambarnya di tanah," katanya sambil tertawa.
Tata letak gedung-gedung itu juga ia sendiri yang menentukan.
Bahkan ia sendiri yang mengemudikan alat-alat berat untuk menggali tanah. Kalau ia lagi di atas bego sama sekali tidak terlihat kekiaiannya.
Rupanya keinginan menjadi insinyur tidak pernah padam. Diam-diam ia mendalami sendiri ilmu teknik di luar bangku kuliah.
"Awalnya karena senang saja. Lalu karena marah," ujar Kiai Sahiduddin.
Kenapa?
Tahun 1976 lalu pemerintah menjanjikan membangun Balai Latihan Kerja (BLK) di Pondok Gintung. Alat-alat las akan didatangkan. Demikian juga mesin bubut. Letak bangunan BLK pun sudah ditentukan.
"Tapi bantuan BLK itu dibatalkan. Penyebabnya satu: Golkar kalah Pemilu 1977 di sini," ujar Kiai Sahiduddin.
Sejak itu Kiai Sahiduddin membangun sendiri gedung BLK. Membeli sendiri peralatan las dan pemotong besi. Ia pun belajar pekerjaan bengkel.
Ternyata bisa.
Karya pertamanya adalah tempat tidur bertingkat dari besi. Itulah tempat tidur made in kiai. Untuk tidur para santri. Mungkin bisa lebih barokah.
Akhirnya seluruh tempat tidur santri tidak ada yang beli. Tiap kamar berisi 5 tempat tidur bertingkat.
Berarti satu kamar berisi 10 santri. Di pondok ini kamar mandi dan toilet santri sudah di dalam masing-masing kamar.
Begitu luas pesantren ini. Sampai dibagi dalam tiga zona: Daar el Qalam 1,2 dan 3.
KOMENTAR ANDA