DUA berita dari Jakarta begitu mengusik nurani. Siswi SMP bunuh diri dengan cara loncat dari gedung sekolahnya. Ada lagi siswi SMP yang membunuh tetangganya yang masih balita tanpa menyesali perbuatannya. Seketika dunia terlihat begitu gelap di mata saya. Menakutkan.
Saya awam. Ibu dari tiga anak yang berusia 9, 7, dan 3 tahun. Sejak belum menikah, saya bertemu banyak psikolog dan seringkali mewawancarai mereka tentang beragam topik terkait parenting. Hasil wawancara yang saya tulis menjadi artikel di majalah (saya pernah bekerja di tiga majalah perempuan-red) tentu saja memperkaya wawasan saya tentang dunia kepengasuhan anak.
Terakhir kali saya bertanya seputar dunia parenting kepada Ibu Septi Peni Wulandani, founder Ibu Profesional—sebuah komunitas sekaligus institusi yang menawarkan racikan untuk menjadi ibu yang profesional dalam menjalankan tugas mulianya.
Satu hal yang sangat njleb di hati adalah kata-kata Ibu Septi bahwa “perempuan harus tuntas dengan dirinya sendiri untuk bisa menjadi ibu tangguh yang menebar manfaat bagi keluarga dan masyarakat”.
Artinya, jika seorang perempuan ingin menjadi ibu yang terbaik bagi anak-anaknya, maka dia harus mencurahkan perhatiannya secara total kepada suami dan anak-anak. Dan kapankah seorang perempuan bisa total mengurus keluarganya? Jika dia sudah berdamai dengan dirinya sendiri (tuntas). Dia memahami apa kelebihan diri dan apa kekurangan diri juga menyadari goal yang harus dicapai dan tahu caranya.
Perempuan yang tuntas dengan dirinya sendiri adalah perempuan yang sudah tidak perlu lagi ‘mengurus’ dirinya karena dia sudah berjalan pada rel yang benar dan bahagia dengan segala hal dalam dirinya. Tidak ada penyesalan. Tidak ada keinginan-keinginan yang belum tercapai. Dengan demikian, yang menjadi tujuan utamanya adalah mengurus keluarga dengan sebaik-baiknya—secara profesional.
Kuncinya Ada Pada Parenting
Lantas, jika kembali lagi pada ketakutan saya di awal tadi membaca berita seputar remaja bermasalah, saya membaca ulasan beberapa psikolog terkait peristiwa yang menakutkan itu. Benarlah, ketahanan keluarga disebut-sebut menjadi benteng yang dinilai mampu untuk melindungi anak dari dekadensi moral dan mental yang menghantui banyak sekali anak-anak zaman now.
Ketahanan keluarga ini dimulai dari poin utamanya yaitu hadirnya orangtua—ayah dan ibu—secara utuh bagi anak-anak mereka. Jika hanya raga saja yang berada di rumah, tapi hati dan pikiran ayah ibu berkelana ke mana-mana, dilanda kekhawatiran berlebih, atau mudah sekali dilanda stres, maka pasti ada ‘kekosongan’ dalam diri si buah hati.
Ketahanan keluarga tentulah sangat berkaitan dengan pola pengasuhan anak di rumah oleh orangtua. See, parenting adalah koentji. Dan itulah yang membuat bulu kuduk merinding membayangkan betapa sulitnya menjadi orangtua di masa sekarang ini. Terlebih lagi karena saya merasa belum tuntas dengan diri saya sendiri. Bahaya, kan?
Semua pengetahuan yang saya dapat dari para psikolog yang saya wawancarai bertahun-tahun silam sempat membuat saya kebingungan. Mana yang harus saya terapkan? Pun jika merujuk kepada parenting gaya Rasulullah, wah, rasanya membuat saya sedikit frustasi. Apa yang saya dan suami lakukan masih jauh dari itu. Apalagi saya dan suami masih kerap berselisih pendapat tentang gaya kepengasuhan seperti apa yang harus kami terapkan.
Pada akhirnya, memang tak ada satu gaya parenting yang bisa diterapkan secara mutlak. Karena tiap anak punya karakter berbeda, maka setidaknya saya harus menerapkan tiga gaya pengasuhan. Hufff, jelas bikin pusing. Jika kembali pada kepengasuhan anak yang dicontohkan Rasulullah, tetap saja pendekatan kepada masing-masing anak akan berbeda meski tujuannya satu: menciptakan generasi qurani masa depan yang tangguh.
Bullying, Musuh Abadi
Ya, bagi saya, parenting kini menjelma menjadi beban berat yang sangat menakutkan. Gangguan yang datang dari luar diri yaitu bullying menjadi momok paling mengerikan. Eternal enemy. Sudah banyak kita membaca tentang penyebab dan solusi perundungan, tapi tetap saja bullying mengintai kehidupan anak-anak. Dari yang kecil hingga remaja. Tak hanya di dunia nyata, cyberbullying juga tak kalah mengerikan.
Bagaimana mendidik anak untuk percaya diri dengan diri mereka—apa adanya, jelas tak mudah. Bagaimana mengajarkan kepada anak bahwa setiap manusia sama derajatnya di mata Allah Swt. dan yang membedakan hanya ketakwaannya, jelas bukan perkara gampang.
Contoh kecil saja. Terbukti, butuh seharian penuh memotivasi anak saya untuk tidak rendah diri akibat dianggap lucu teman-teman satu sekolah karena potongan baru rambutnya yang cepak (nyaris botak). Biasanya, si abang yang duduk di kelas 1 SDIT ini berambut tebal dan berponi. Dia sampai menangis dan marah-marah pada saya—ibu yang ‘memaksa’nya berambut cepak ala siswa sekolah taruna.
Banyak kalimat motivasi yang meluncur dari bibir saya. Ini beberapa di antaranya: “Yang ganteng itu wajah yang suka tersenyum. Bukan rambut. Mana ada orang bilang rambut kamu ganteng ya”. Saya juga bilang “Bang, yang penting itu otak kita pintar. Percuma rambutnya tebal kalau isi kepalanya enggak pintar.” Adalagi “Kalau ada yang ketawa sambil ngatain botak bilang aja ini lagi tren, bro…”
Bahkan saya pun mengirim pesan whatsapp kepada wali kelasnya untuk membantu menyemangati si abang untuk percaya diri. Mudah-mudahan, pesan yang saya getarkan di rumah didukung dengan motivasi ibu walas, bisa memudahkan abang mengatasi baper dan tetap pede.
Apa Yang Harus Dilakukan?
Lalu, gaya pengasuhan seperti apa yang bisa menyelamatkan anak-anak kita dari dekadensi moral? Secara teori, kita bisa membaca banyak sekali literatur parenting dan menghadiri kajian-kajian parenting. Jika ada masalah, kita bisa langsung menanyakan kepada ahli parenting untuk mencari solusi. Namun yang harus diperhatikan, kita harus tetap mempelajari karakter anak agar apa-apa yang kita ajarkan pada mereka bisa dipahami, diterima, dan dijalankan dalam keseharian mereka.
Saya harus menyertakan nurani agar bisa mendidik anak menjadi percaya diri, mandiri, dan bangga dengan diri sendiri tanpa kemudian menciptakan anak berkepribadian jagoan yang menjadi pelaku perundungan. Saya juga harus super peka melihat perubahan anak. Dulu cerewet sekarang introvert, hmmm…harus ditelisik baik-baik apa yang terjadi dalam kehidupan sosial si kecil selama beberapa waktu terakhir.
Arus informasi melalui internet juga menjadi pisau bermata dua yang harus diperlakukan baik-baik. Di sinilah ketangguhan orangtua diuji. Bagaimana agar internet menjadi sarana penambah informasi positif, bukan untuk memberi pengetahuan dan akses terhadap konten negatif yang merusak pikiran. Bagaimana agar media sosial menjadi penyambung silaturahim, bukan membuatnya menjadi netizen julid atau malah merasa tertekan melihat foto-foto berisi keberhasilan dan kesuksesan yang orang lain pamerkan.
Jika parenting menjadi koentji, maka kunci parenting terletak pada bagaimana anak dekat dengan Islam (agama). Meyakini bahwa Islam bukan sekadar norma dan aturan yang mengekang, melainkan panduan dan gaya hidup yang membawa manusia menjalani hidup sesuai fitrah. Senantiasa menebarkan wawasan dan pengetahuan baru dari isi Alqur’an. Bukan sekadar menyuruh anak menjadi hafiz (penghafal) tapi juga cerdas menemukan ibrah (hikmah) dari ayat-ayat quran. Mulai saja dengan Bismillah, kemudian berikhtiar dan bertawakkal.
Dan itu semua, tidak ada manual book-nya.
KOMENTAR ANDA