Gara-gara harus lebih hati-hati itu saya hampir tidak percaya ketika ada berita ini: ada 3.000 penderita baru Covid-19 di Singapura. Hanya dalam dua hari.
Masak sih di Singapura, yang manajemennya begitu hebat, terjadi pendadakan seperti itu.
Ternyata pendadakan itu benar adanya. Singapura baru saja kecolongan: di barak-barak buruh kasar di sana.
Asrama buruh bangunan itu telah jadi pusat penyebaran Covid-19.
Kecanggihan ilmu manajemen seharusnya bisa mengantisipasinya. Berarti doktrin manajemen "analisis persoalan potensial" tidak dijalankan.
Singapura mirip Magetan. Yang sejak awal mestinya juga tahu: ada faktor persoalan potensial di sana. Yakni Temboro.
Siapa pun tahu Desa Temboro adalah salah satu pusat Jamaah Tabligh di Indonesia.
Tentu saya pernah ke Temboro. Makan siang gayeng bersama kyai utama (sepuh) dan para ustaz di sana. Saya memang selalu bangga pada Jamaah Tabligh --gerakan ini sangat damai dan mandiri.
Tapi kekompakan dan sifat kekeluargaan kelompok ini kini menjadi titik lemahnya. Bukan mereka yang salah. Tapi zaman memang sudah terbalik --seperti digambarkan dalam humor yang beredar luas itu: bersatu kita runtuh!
Saya merasa ikut bersalah: kok tidak mengingatkan itu ke Pemkab Magetan --agar diantisipasi. Padahal saya tahu Desa Temboro itu selalu dipadati puluhan ribu manusia. Hampir sepanjang tahun. Silih berganti. Dari berbagai wilayah Indonesia dan belahan dunia.
Padahal Magetan adalah kampung saya. DI's Way ikut berdosa: sudah terlalu menasional. Sudah lupa pada kulitnya.
Maka statistik Covid-19 Magetan pun tiba-tiba melejit. Nama Magetan menjadi begitu terkenal --untuk yang kurang membanggakan.
Pun barak buruh kasar di Singapura itu. Juga membuat statistik Covid-19 di sana tiba-tiba mengalahkan Indonesia --memburuknya.
Penghuni barak itu umumnya buruh bangunan dari Bangladesh dan India.
Kejadian di Singapura itu membuat orang membandingkannya dengan Taiwan. Singapura kalah.
Taiwan juga memiliki ratusan ribu buruh pabrik --dan pembantu rumah tangga. Terbanyak dari Indonesia dan Vietnam. Tapi tetap terjaga: hanya satu yang terkena virus: yang dari Indonesia --itu pun sudah sembuh. Ia tercatat sebagai penderita Covid ke-2 di Taiwan.
Tapi apakah Prof Tasuku benar-benar tidak pernah berkomentar soal Covid?
Ternyata tidak juga. Ahli imunitas itu pernah membuat pernyataan. Isinya: Covid-19 bermula di Tiongkok, tapi Tiongkok akan yang pertama bisa mengatasinya. "Saya tidak bisa mengatakan apakah itu akan membuat Tiongkok kian berpengaruh di dunia atau dunia akan menjauhi Tiongkok," katanya.
Pernyataan itu dibuat tanggal 10 April 2020. Dua minggu kemudian muncul satu akun twitter dengan nama profesor itu. Tapi twitter itu hanya dua kali mengunggah isi --seolah pendapat Prof Tasuku beneran.
"Saya tidak tahu apa maksud akun twitter tersebut dibuat dengan nama saya," ujarnya.
Untung ada News Meter.
Media klarifikasi ini menjadi sangat terkenal. Yang menulis klarifikasi tadi adalah Amritha Mohan, reporter di media itu. Ia seorang master jurnalistik dari Hyderabad University.
Saya pun menyarankan Imawan Mashuri, teman saya yang kini memimpin sekolah tinggi kewartawanan di Surabaya. Nama sekolah itu STIKOSA d/h Akademi Wartawan Surabaya. Agar jurusan jurnalistiknya bisa mempunyai tim yang kuat untuk 'news clearing house' seperti News Meter. Media sosial begitu bebas sekarang ini. Perlu lembaga pengecek kebenaran semua isu yang menyesatkan.
Aneh juga: mengapa saya menyarankan itu ke teman saya. Mengapa tidak saya sendiri yang melakukan. Itulah dosa kedua DI's Way: merasa tidak punya cukup daya untuk itu.
Tapi ini bukan soal sumber daya saja. Memang akan lebih baik kalau mahasiswa jurusan jurnalistik yang melakukannya. Sekalian belajar bagaimana filsafat jurnalistik jangan diabaikan: adanya kebenaran di balik kebenaran.
KOMENTAR ANDA