Dengan gambaran seperti itu terlalu sulit bagi kita untuk mengejar Malaysia.
Bagaimana jalan keluarnya?
Harus lebih dulu dilakukan revolusi! Yakni revolusi durian. Revolusi durian Indonesia. Yakni membabat habis pohon durian yang terlalu berjenis-jenis itu. Untuk diganti satu dua jenis saja yang unggulan semua.
Dan itu tidak mungkin. Tidak realistis.
Mana bisa penduduk diminta menebang pohon durian mereka --setidak enak apa pun rasanya. Menanam durian itu sulit. Menunggu berbuahnya lama. Untuk menggantinya dengan yang unggul tidak bisa cepat. Mereka bisa kehilangan penghasilan selama enam tahun. Siapa yang menanggung.
Tapi kalau terus dibiarkan begini, seumur hidup pun kita tidak bisa mengejar Malaysia. Padahal kita pernah bisa mengalahkan Malaysia: di kelapa sawit. Yang dulu juga pernah dinilai tidak mungkin.
Sambil menanti jalan revolusi itu muncullah harapan dari Bangka. Bukan main senangnya orang seperti saya.
Kan saya tahu. Begitu besar pasar durian di Tiongkok. Dengan penduduk 1,4 miliar. Yang pendapatan mereka terus meningkat.
Durian merupakan barang baru bagi mereka. Sampai-sampai ada yang tidak tahu bagaimana cara makan durian. Lihatlah humor yang saya sertakan di naskah ini. Lucu sekali.
Yang berjasa menduriankan Tiongkok adalah Thailand. Tapi kita semua tahu: durian Thailand kalah dengan durian Medan. Atau durian Jambi. Atau durian Pontianak. Atau durian Palu. Durian Ambon. Durian Semarang. Durian mana pun dari Indonesia.
Tapi saya tidak pernah bisa menemukan durian Indonesia di Tiongkok.
Belakangan muncullah durian musangking dari Malaysia. Yang langsung mengalahkan durian Thailand.
Semua durian di muka bumi pun langsung tewas oleh musang king --nama dan reputasinya.
Itulah yang saya ceritakan di diskusi Zoom dengan Pak Erzaldi dan Pak Djohan Aping Senin lalu.
Djohan Aping adalah orang asli Bangka. Nama sebenarnya: Djohan Riduan Hasan. Buyutnya pun sudah lahir di Bangka. Ia anak ke-8 dari sembilan bersaudara.
Keuletannya muncul lantaran ayahnya meninggal ketika ia baru berumur 3 tahun.
Sejak kecil ia sudah harus jualan kue bikinan ibunya: piang nanas. Saya belum pernah mendengar nama kue itu --apalagi merasakan enaknya. Ketika pak Djohan menyebut nama ”piang nanas” saya minta diulang tiga kali: agar tidak salah menuliskannya.
Dari jualan itu pula ia bisa kuliah di Tarumanegara Jakarta. Jurusan teknik mesin. Lalu bekerja di perusahaan spare part di Jakarta.
Tahun 1997 ia pulang ke Bangka. Bikin smelter tambang timah. Sepuluh tahun kemudian Djohan merintis kebun sawit di Bangka. ”Puluhan perusahaan Jakarta dan Malaysia punya kebun sawit di Bangka. Kok saya yang putra Bangka tidak punya,” katanya saat itu.
Kini Djohan punya 5.000 hektare kebun sawit. Juga mendirikan satu PKS berkapasitas 30 ton/hari. Pabrik kepala sawitnya itu tergolong kecil di sana.
Dari kebun sawit itu Djohan memikirkan kebun durian. Itu karena ia tahu durian Bangka tidak ada duanya. Khususnya yang dua jenis tadi: namlong dan super tembaga.
”Saya dengar Pak Djohan sudah punya 500 hektare kebun durian...” tanya saya.
”Baru 200 hektare,” katanya. ”Pelan-pelan,” tambahnya merendah.
Memang targetnya sampai 500 hektare. Tidak lama lagi. Rasanya akan berhasil.
Ia pun sudah memiliki kebun pembibitan sendiri. Yang tidak sesederhana pembibitan kelapa sawit.
KOMENTAR ANDA