CORONA dan Ramadhan. Keduanya hadir bersamaan dalam hidup kita. Keduanya jelas berbeda. Jika kita sudah mengharapkan datangnya Ramadhan sejak jauh-jauh hari, maka kita tidak sedikit pun mengharapkan pandemi corona menghampiri kita.
Lebih dari satu juta penduduk dunia terinfeksi Covid-19, nama resmi virus corona yang disematkan WHO. Sejak kemunculannya di Wuhan, China penghujung 2019, Covid-19 menjelma menjadi musuh bersama.
Kemampuan corona menyebar terbilang dahsyat.
Meski akhinya Wuhan menjalani isolasi total, total lockdown itu kalah cepat dari penyebaran corona ke masyarakat dunia.
Di tengah pandemi, beberapa pihak mengajukan class action terhadap pemerintah China. Di Amerika Serikat,lebih dari 5000 warga menggugat pemerintah China karena dianggap lalai mengendalikan virus corona hingga menyebabkan mereka merasakan kesulitan finansial.
Ada pula Henry Jackson Society, sebuah organisasi di Inggris yang menuntut China karena dianggap menyembunyikan informasi penting terkait virus corona. Termasuk bagaimana Beijing mengintimidasi para ilmuwan China untuk tidak menyebarluaskan hasil penemuan mereka bahkan mencap hasil penelitian mereka sebagai hoaks.
Surat kabar Jerman yang sangat populer di Eropa, Bild, bahkan telah menuliskan angka-angka fantastis sebagai ganti rugi atas hancurnya industri pariwisata dan pasar modal Jerman—akibat pandemi Covid-19.
Suara tak kalah nyaring juga datang dari Australia. Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne dan Menteri Dalam Negeri Australia Petter Dutton (Dutton positif terinfeksi Covid-19 pada Maret 2020) menginginkan penyelidikan komprehensif tentang asal mula virus corona. Hingga saat ini diketahui bahwa virus ini biasanya menyebar dari kelelawar ke binatang lain. Belum bisa diketahui bagaimana virus itu akhirnya bisa menular ke manusia.
Bukan sembarang class action, nilai total gugatan dari berbagai belahan dunia ini mencapai ribuan triliun rupiah!
Lantas apa komentar China? China menanggapi dingin berbagai gugatan tersebut dengan mengatakan bahwa corona adalah musuh bersama dan sangat tidak pantas untuk menjatuhkan China dengan dalih corona.
Akankah Indonesia mengikuti jejak negara lain untuk melakukan class action?
Masing-masing kita bebas berpendapat. Pantas atau tidak pantas. Perlu atau tidak perlu. Itu akan menimbulkan banyak pro-kontra dan debat di sana-sini. Salah satu taruhannya adalah hubungan ‘baik’ kedua negara.
Maklumlah, Indonesia bukan Amerika Serikat—negara adidaya yang bisa seenaknya mengembargo negara lain.
Terlepas dari urusan class action, karantina di rumah, hingga PSBB, kita kini sudah sampai di bulan Ramadhan.
Bulan suci yang telah kita nantikan. Bulan penuh pahala dan ampunan yang begitu rugi jika kita lewatkan tanpa tambahan ibadah. Bulan yang menjadi pelatihan intensif bagi kita untuk menyucikan diri dari berbagai dosa.
Tahun ini menjadi Ramadhan yang berbeda. Kemeriahan Ramadhan dalam bentuk buka bersama, tarawih dan tadarus bersama, juga sahur on the road, tidak bisa kita jalani. Ramadhan ini terasa lebih senyap dari Ramadhan Ramadhan yang kita lalui selama beberapa dekade.
Namun, lebih senyap bukan berarti tidak khusyuk. Bahkan, senyap seharusnya bisa membantu kita menjadi lebih khusyuk dalam setiap ibadah yang kita lakukan.
Karantina diri yang sudah kita jalani satu bulan lebih ini seharusnya telah membuat kita menyadari lebih dalam makna laa hawla wa laa quwwata illaa billahi. Meresapi qadarullah alias takdir Allah yang sudah ditentukan.
Bagaimana kita bijak menerima segala ketentuan yang telah Allah gariskan untuk kita.
Mari berterima kasih pada corona (untuk kesekian kalinya) bahwa pandemi menjadikan fondasi syukur dan sabar kita lebih kukuh. Fondasi yang kita butuhkan untuk menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Tanpa sadar, kita sudah menyiapkan diri lahir dan batin sebelum Ramadhan untuk lebih fokus beribadah. Lebih mendekat kepada Sang Khalik. Lebih pasrah. Lebih intens berbuat amal saleh.
Dengan corona, pikiran kita semestinya tak perlu bercabang seperti banyak Ramadhan sebelumnya. Kita tak perlu memikirkan jadwal buka puasa bersama: di mal mana, di restoran mana, di rumah siapa. Tidak harus menghabiskan waktu berjam-jam di mal atau butik untuk memilih baju mana yang paling bagus untuk lebaran.
Tidak perlu bingung bercampur geram dengan harga tiket pesawat yang melonjak tajam demi mudik ke kampung halaman.
Kali ini Ramadhan jauh lebih sederhana dan lebih bersahaja dari apa yang pernah kita bayangkan. Dan seharusnya kondisi ini menjadi menguntungkan bagi kita untuk menjadi lebih fokus pada perbaikan diri.
Lebih kuat berusaha untuk menjadi muslim yang baik.
Marhaban ya Ramadhan.
KOMENTAR ANDA