”Itu benar sekali,” ujar Djohan kepada saya kemarin. ”Sama-sama super tembaga rasanya juga bisa beda,” tambah Djohan.
Ups... Menyesal saya telah mempromosikannya.
Akankah saya harus merasa berdosa lagi? ”Tidak pak. Itu jadi tantangan kami di sini,” ujar Djohan. ”Bisa kita atasi,” tambahnya.
Djohan sudah mendalami soal membuat keseragaman rasa itu. Termasuk sudah mencari tahu mengapa rasa durian musang king kok bisa seragam.
Semua itu tergantung di budi dayanya. ”Durian kita itu pak, begitu tidak ada hujan satu bulan saja rasanya sudah berubah,” ujar Djohan.
Demikian juga pemupukannya. Beda pupuk sudah beda rasa.
”Karena itu di kebun saya nanti akan menggunakan sistem pengairan drop,” ujar Djohan.
Dengan demikian tidak lagi tergantung hujan. Untuk itu Djohan harus membeli teknologi pengairan air menetes itu. Yang mahal itu. Yang awalnya ditemukan oleh Israel itu.
Berarti Djohan akan menggelar pipa air di seluruh kebun duriannya yang 200 hektare itu. Harus ada pipa dari pohon ke pohon. Seperti yang dilakukan keluarga Djarum untuk perkebunan tebunya di Sumba Timur.
Pentingnya irigasi air menetes itu tidak hanya untuk air. Juga untuk mengalirkan pupuk. Yang untuk durian, pupuknya harus khusus: tidak mau pupuk kimia. Bahkan tidak mau pupuk kandang. Kalau bisa pupuknya dari campuran sisa-sisa ikan yang dihancurkan.
Djohan memang sudah bertauhid di bidang perkebunan. Pabrik smelter timahnya sudah ia tutup.
”Begitu menerima kalpataru dulu, pabrik smelter saya tutup,” katanya. ”Saya tidak mau mencemari lingkungan. Masak penerima kalpataru punya smelter timah,” katanya.
Ternyata Djohan ini pemenang Kalpataru tahun 2008. Itulah penghargaan tertinggi untuk orang yang berjasa di bidang pemeliharaan lingkungan hidup. Ia tidak mengira. Ia tidak pernah merasa berusaha mendapatkan Kalpataru.
Djohan awalnya hanya mengagumi Pulau Phuket. Di Thailand itu. Yang daya tarik wisatanya luar biasa. Padahal Phuket itu dulunya tambang timah, seperti Bangka.
Djohan lantas memelopori penanam pohon di areal tambangnya. Berpuluh-puluh ribu pohon. Siapa tahu kelak bisa jadi daerah wisata.
Itulah yang membuatnya menerima Kalpataru.
Sekaligus membuat ia malu memiliki pabrik smelter. Kebetulan pabrik kelapa sawitnya hampir jadi. Karyawan pabrik smelter itu ia alihkan ke pabrik kelapa sawit.
Djohan kini juga menanam jeruk. Sudah lebih 100 hektare.
Durian dan jeruk akan menjadi masa depannya. Bukan lagi kelapa sawit.
”Saya sudah sarankan agar rakyat jangan didorong terus tanam kelapa sawit,” ujarnya. ”Hasilnya sangat minim.”
Djohan pun memberi gambaran konkret: sama-sama punya tanah satu hektare hasilnya begitu berbeda. Ditanami sawit hanya mendapat Rp 10 juta. Ditanami jeruk bisa dapat Rp 100 juta. Ditanami durian bisa dapat Rp 500 juta. ”Ibaratnya seperti itu,” ujar Djohan.
Peluang ternyata ada di mana-mana.
Kemauan yang masih tetap langka.
KOMENTAR ANDA