UNTUNG ada lelucon ini. Saya pun menjadi tahu: webmeeting ternyata beda dengan webinar.
Webinar (seminar lewat internet) ternyata harus lebih hati-hati.
Jangan sampai seperti seperti terjadi Kamis medio April lalu. Tiba-tiba saja nongol adegan porno di layar. Yakni ketika seminar itu memasuki sesi tanya jawab.
Panitia lantas memblokade adegan itu --cepat-cepat mengganti isi layar dengan foto-foto dokumentasi.
Beberapa menit kemudian seminar dimulai lagi. Tanya jawab pun dilanjutkan. Baru satu orang yang bertanya, eh, muncul lagi adegan tadi. Lebih lama. Mungkin panitia berniat mencari dulu siapa peserta yang usil itu. Perlu waktu. Mencari satu persatu siapa peserta usil itu tentu sulit. Apalagi pesertanya sampai 400 orang.
Tidak segera ketemu. Si porno jalan terus. Klik. Seminarnya saja yang diakhiri. Layar gelap. The end.
Seminar itu dilaksanakan oleh lembaga yang paling sahih bicara teknologi informasi: Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional --Wantiknas.
Itulah hidup. Selalu ada sisi kecolongan.
Kecolongan seperti itu kemudian populer dengan nama Zoombombing. Dinamakan seperti itu karena menggunakan aplikasi bernama Zoom. Belakangan terjadi juga di banyak webmeeting.
Beruntung peserta tidak ada yang dirugikan --seminar itu gratis. Pembicaranya memang istimewa: Dr. Ilham Habibie dan Dr. Widodo Muktiyo. Ilham Habibie Anda sudah tahu. Widodo Muktiyo Anda juga sudah kenal - -Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Ups, ada satu pembicara lagi: lihat sendiri di foto brosurnya.
Awalnya, tutur seorang peserta, seminar di web itu sangat lancar. Para pembicara sudah tampil semua --dari lokasi masing-masing.
Satu pembicara sekitar 20 menit.
Tanya jawab pun dimulai. "Saya lupa berapa orang yang sudah bertanya, lalu muncul yang itu," ujarnya.
Mengapa 'nongol-porno' itu bisa terjadi?
Saya pun membaca dua tulisan tentang itu. Saya kenal kedua penulisnya: Anab Ghozali dan Joko Intarto. Yang terakhir ini adalah mantan anak buah. Yang sekarang punya bisnis sendiri: penyelenggara Webinar.
Itulah bisnis yang lagi dapat angin di zaman Covid-19 ini. Nama perusahaannya: Jagaters. Larisnya bukan main --akhirnya.
Padahal sudah empat tahun Joko Intarto sempat termehek-mehek. Jagaters tidak kunjung dapat klien. Tidak ada kata menyerah.
Untunglah JTO --begitu panggilannya saat masih jadi wartawan-- sudah biasa menderita. Ia orang miskin dari kampung miskin di Kabupaten miskin Grobogan, Jateng.
Pakaiannya tidak pernah mentereng, rambutnya tidak pernah dipoles --apalagi ia gundul sekarang-- makannya seadanya, tidurnya sekenanya, dan tidak pernah perlu jaga gengsi.
Hanya sesekali ia curhat. Kok Jagaters tidak bisa segera menemukan bisnis. Padahal, katanya, ia sudah sangat bertauhid. Sudah sangat fokus. Tidak melakukan apa pun kecuali menggeluti Jagaters.
Hebatnya di saat tidak punya uang pun ia tetap tertawa. Dan tawanya itu tetap sama renyahnya.
JTO-lah yang tiga tahun lalu minta agar saya menulis secara rutin. Setidaknya seminggu sekali. Ia-lah yang akan mengelola tulisan saya --di sela-sela mengurus Jagaters yang masih lebih banyak selanya.
Tanpa mau dibayar. Asal saya mau menulis.
KOMENTAR ANDA