Tim ITS, katanya, bisa membuat Raisa hanya dalam dua minggu berkat pengalaman panjangnya.
ITS sudah punya tim robot yang mapan. Tiap tahun ada saja gelar juara yang diraih. Baik tingkat nasional maupun internasional.
Misalnya tim robot sepak bola itu --juara nasional. Itulah robot sepak bola pertama ITS --dengan penggerak roda. Tahun berikutnya lebih maju lagi. Disebut robot Ichiro --penggeraknya sudah bukan roda lagi. Pemain sepak bolanya sudah berlari dengan kaki.
Lalu diciptakan lagi robot Barunastra --robot kapal. Yang kita tahu pergerakan kapal itu juga begitu sulitnya --terutama saat ”take off” dan ”landing”.
Tiga robot ITS itu semuanya sudah serba otomatis. Bisa diandalkan. Motonya: Satu hati. Untuk negeri. Wani!
Jadi, bahwa Raisa masih perlu pakai remote control itu karena memang diinginkan begitu.
Hampir saja saya tidak mengenal Raisa. Kalau saja Rektor ITS, Prof. Ir. Mochamad Ashari, M.Eng, Ph.D, tidak usil. Tiba-tiba saja saya baca, di medsos, Prof Ashari jadi Humas Unair. Tanpa dibayar dan tanpa SK. Rektor ITS itu mempromosikan Unair.
Ups... Ternyata mempromosikan ITS juga. Lewat prestasi tim robotiknya itu. ”Nama Raisa sendiri usulan dari Unair,” ujar Prof. Ashari. Waktu belum dibawa ke Unair namanya masih Raitsa --ada huruf ”i-t-s” di dalamnya.
Raisa, kata Prof Ashari, adalah hasil kerja sama dua universitas besar di Surabaya itu.
Prof. Ashari baru satu tahun jadi rektor ITS. Ia seperti ”anak hilang” yang kembali ke ibu kandungnya. Lima tahun lamanya Ashari ”berjuang” di Bandung. Di luar ITS. Untuk menjadi rektor Universitas Telkom pertama. Yakni gabungan empat sekolah tinggi Telkom --yang merger menjadi Universitas Telkom. Prof. Ashari-lah bidan penggabungan itu.
Tahun lalu Universitas Telkom menduduki peringkat satu universitas swasta di Indonesia. Dengan jumlah mahasiswa 30.000 orang.
Kini Prof. Ashari sudah pulang ke kandang. Ia alumnus Elektro ITS. Rumahnya di Sidoarjo. Di Desa Wonoayu --dekat pesantren besar Bumi Shalawat milik Gus Ali.
Setamat S-1, Ashari mencari beasiswa sendiri. Belum ada email waktu itu. Semua proposal ia kirim lewat faksimile. Usahanya berhasil. Ia diterima di Curtin University di Perth, Australia Barat. Di situ Ashari menyelesaikan gelar S-2 dan S-3 nya.
Meski rektor ITS, Prof. Ashari tetap tinggal di Desa Wonoayu. Tidak mau pindah ke Surabaya. ”Saya memilih bersama ibu di Wonoayu. Tinggal ibu. Ayah sudah meninggal,” ujarnya.
Ayah-ibunya asli Desa Wonoayu itu. Petani. Mencangkul dan menanam padi. Tapi 4 anaknya mentas semua: dua doktor, satu dokter, satu lagi direktur BUMN besar.
Ashari rajin mempromosikan Raisa. Apalagi akan segera lahir Raisa-Raisa berikutnya. Dengan nama depan tetap Raisa.
Adik Raisa itu kemungkinan akan diberi nama Raisa Tiara. Tugasnya di lantai 2. Adiknya lagi bisa saja bernama Raisa BCL --Backer Calm Down Labour. Untuk lantai 3. Adik ketiga di lantai 4: Raisa Rosa --ransum, obat, salep, antiseptik.
Adik-adik Raisa dibuat lebih pintar. Bisa mengukur suhu dan lain-lain. Sedang Raisa sendiri akan balik ke lantai 5 --ke ICU. Tapi Raisa akan cuti dulu dua-tiga hari. Agar kameranya bisa muter-muter. Untuk memonitor berbagai sudut ruang ICU. Dokter dan perawat ICU bisa tidak sering-sering ke dalam.
Raisa dan adik-adiknya akan terus membuat Ashari lebih sibuk. Sampai ia rela menurunkan pangkatnya sendiri menjadi Humas Unair. Hasil lebih penting dari status.
KOMENTAR ANDA