Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

DI masa pandemi virus corona atau Covid-19 yang saat ini masih terjadi, warga didorong untuk tinggal dan melakukan semua aktifitas di dalam rumah.

Namun, bagi orangtua yang memiliki lebih dari satu anak kecil di rumah, bisa jadi hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang mudah. Konflik antara kakak-adik bisa menjadi santapan sehari-hari. Seringkali bahkan karena dipicu hal-hal sepele, seperti rebutan mainan.

Tidak jarang konflik tersebut berujung dengan pertengkaran, teriakan, marah-marah, atau tangisan antara si kakak dan adik.

Kondisi itu tidak jarang membuat orangtua pusing tujuh keliling.

Namun ternyata, konflik antara si kakak dan adik yang masih kecil ternyata memiliki makna psikologis yang penting, jika mau dilihat lebih dekat.

"Di atas usia dua tahun, kontrol fisik anak mulai memadai untuk mengatur gerak tubuhnya. Mulai belajar bicara untuk sampaikan apa yang dia mau, mulai gigih dengan kemauan, dan sadar sebagai individu yang punya hak," kata Dosen Universitas Katolik Soegijapranata, Lita Widyo Hastuti, melalui akun Twitternya, @WidyoLita akhir pekan ini.

"Mereka secara alamiah belajar pertahankan ego dan akan bertahan jika egonya dilanggar," sambungnya.

Konflik antara kakak-adik yang terjadi rumah muncul dalam rangka mempertahankan ego masing-masing.

"Hal itu wajar. Mereka sedang belajar pengelolaan emosi sekaligus menakar 'kekuasaan'. Coba kalo anak kita diam saja tanpa defend (membela) sama sekali di segala cuaca, mengalah (secara) overdosis (berlebihan), repot juga lho," jelas Lita.

Namun, meski konflik semacam itu wajar terjadi, kebiasaan konflik antar kakak-adik jangan juga sampai berkembang dan berlajut.

"Semakin besar idealnya (konflik) semakin berkurang, berganti dengan dialog yang lebih adem untuk pemecahan solusi," tambahnya.

Lantas, ketika kakak-adik yang masih kecil kerap berkonflik di rumah, apa yang harus dilakukan orangtua?

"Lihat situasi dan kondisinya. Jika tidak ada hal yg darurat (misal agresi fisik, posisi rawan jatuh), sebaiknya orangtua tidak keburu turun tangan. Ini bagian dari mereka belajar selesaikan masalah sendiri, berlatih menuju matang," tutur Lita.

Lalu, bagaimana jika anak-anak sudah mengadu ke orangtua?

"Lihat situasi dan kondisi juga. Tidak semua pengaduan harus direspon dengan turun tangan, kecuali kita ingin anak tumbuh jadi tukang ngadu dan tergantung pada orangtua," kata Lita.

"Jika sekiranya bisa diselesaikan antar mereka, dorong untuk atasi sendiri. Cukup beri arahan seperlunya," tekannya.

Kapan sebaiknya orangtua mulai turun tangan dalam konflik antar kakak-adik?

"Pertama, jika ada darurat fisik. Kedua, jika anak masih terlalu kecil dan belum punya skill negosiasi," ujarnya.

Ketiga, jika kita lihat penyelesaian kurang fair. Keempat jika penyelesaian berlarut-larut," jelas Lita.

Namun ketika orangtua harus turun tangan, ada hal yang perlu dipahami, yakni jangan sampai orangtua terbawa emosi.

"Boleh tegas kalau ada yang bandel," kata Lita.

"Bagusnya justru pakai kata-kata lembut. Suara bersahabat membuat kondisi menjadi lebih jernih dan tenang, sembari beri sentuhan fisik kepada kedua pihak untuk menenangkan," terangnya.

"Pegang ini, kita bukan wasit, tapi fasilitator. Kita lebih mengajarkan anak bertumbuh daripada (sekedar) memutuskan siapa benar siapa salah. Orangtua sebagai fasilitator mengajak mereka memikirkan bersama apa yang bisa dilakukan. Jadi fokus ke problem solving," sambungnya.

Selain itu, orangtua juga boleh memberi pertanyaan kepada anak-anak terkait konflik yang terjadi. Namun jangan memvonis.




Mengajarkan Anak Usia SD Mengelola Emosi, Ini Caranya

Sebelumnya

Jadikan Anak Cerdas Berinternet Agar Tak Mudah Tertipu Hoaks

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Parenting