Rupanya Arselan lupa.
Saya benar-benar sudah kembali ke Kaltim. Ke Samarinda. Tetap bekerja lagi di koran Mimbar Masyarakat --koran mahasiswa yang beralih ke koran umum.
Memang, ketika pendidikan di LP3ES itu berakhir Mas Bur minta saya: jangan pulang. "Anda di Jakarta saja. Anda memenuhi syarat jadi wartawan TEMPO," ujarnya.
Tapi saya menjawab bahwa saya terikat kontrak. Mas Bur ngotot. Tapi saya tidak mau. "Ya sudah. Anda pulang ke Kaltim tapi jadi wartawan TEMPO juga di sana," ujarnya.
"Bolehkah saya tetap merangkap di Mimbar Masyarakat?“ tanya saya.
"Boleh," jawabnya.
Besoknya saya pulang ke Samarinda. Sudah membawa kartu pers sebagai wartawan TEMPO. Gagahnya bukan main --menurut perasaan saya.
Begitulah. Kalau Senin lalu saya 'berkhianat' lagi, ceritanya seperti itu. Saya tidak senang, tapi apa boleh buat.
Sebenarnya masih ada satu 'pengkhianatan' lagi. Tahun kedua sebagai wartawan TEMPO saya 'berselingkuh'. Setiap hari saya menulis berita untuk harian Kompas.
Menunggu tulisan dimuat di TEMPO terlalu lama --maklum mingguan. Di Kompas begitu cepat prosesnya. Hari ini dikirim, besoknya sudah bisa dibaca.
Enam bulan kemudian, seorang redaktur Kompas ke Samarinda. Khusus untuk menemui saya. Ia minta saya monoloyalitas --hanya menulis untuk Kompas. Saya akan secara resmi diangkat sebagai wartawan Kompas.
Saya yang justru gementeran.
Saya mengalami kesulitan bagaimana bisa pamit dari TEMPO.
Justru saat itu saya menolak dikawini Kompas. Saya pun mengirim surat ke pimpinan TEMPO. Saya menceritakan perselingkuhan saya itu. Lalu minta maaf. Tobat. Sejak itu saya menyatakan kesetiaan seumur hidup pada TEMPO.
Bahwa kemudian saya tidak di TEMPO lagi sepenuhnya itu atas penugasan resmi dari TEMPO.
Semua itu karena LP3ES. Bagaimana bisa saya menolak untuk sekedar berbicara tentang BUMN --di Zoom.
Ampunilah.
KOMENTAR ANDA