"Masih. Hanya kalau malam. Lewat chatting."
"Tidak kangen?"
"Sejak dulu biasanya ya hanya begitu."
"Dia bekerja di mana?"
"Masih cari-cari kerja. Kan sama-sama baru lulus."
"Oh... Satu almamater di Universitas Telkom ya...?"
"Satu kelas," jawab Ghozi.
"Berarti dia gadis Bandung?"
"Iya. Sunda."
Sesekali Ghozi juga menelepon orang tuanya. Yang tinggal di Bangka, tenaga serabutan.
"Aplikasi yang diperintahkan pimpinan itu sudah dicoba di Bangka-Belitung. Sudah beberapa hari ini," ujar Ghozi.
"Berjalan sangat baik," tambahnya.
Dengan aplikasi ini --#gardaperbatasan-- orang yang ingin pergi-pergi tidak perlu repot. Dari rumah mereka sudah bisa download aplikasi itu. Lalu memasukkan data yang diperlukan untuk pergi. Misalnya hasil tes-cepat, surat izin pergi, KTP dan seterusnya.
Di perbatasan nanti (ini antar provinsi dulu) tinggal menunjukkan QR ke petugas. Dari scan QR itu petugas bisa tahu semua kelengkapan tadi.
Tidak perlu lagi pemeriksaan surat-surat.
Bagaimana kalau dokumen itu palsu?
"Ke depan masing-masing orang tidak bisa memasukkan data hasil tes. Rumah sakit-lah yang upload ke aplikasi," katanya.
Di Bangka Belitung hasil percobaan itu sangat baik. Kebetulan baru saja ada kapal merapat di pelabuhan Bangka Barat. Dari... tidak perlu disebut di sini. Membawa 70 penumpang.
Sebelum turun dari kapal mereka diminta download Apps tersebut. Lalu dipasangi gelang 'pahlawan anti Covid'.
Simpel sekali.
Bagaimana yang ponselnya iPhone?
"Kebetulan dari 70 penumpang itu yang 62 orang pakai Android," ujar Ghozi.
Sedang yang 8 orang lagi juga bukan karena iPhone. "Ada juga yang karena pakai ponsel jadul," tambahnya.
Mereka itu ditangani secara khusus: isi dokumen kertas.
Sehari kemudian salah seorang penumpang kapal itu merasakan gejala tidak enak badan. Lapor ke BNPB Bangka Belitung. Dilakukanlah tes-cepat: positif. Lalu dites swab: positif.
KOMENTAR ANDA