Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

Selama itu John merasa keturunan Jerman. Saya merasa orang Jawa.

Hasil tes ras itu membuat kami tertawa. Kami pun langsung beradu telapak tangan sekeras-kerasnya. Kami ternyata masih ada hubungan keluarga.

Sedikit. Kami sama-sama punya darah Neanderthal. Sama-sama 2,5 persen.

Neanderthal adalah suku kuno. Yang hidup di gua-gua. Di bagian selatan Jerman. Yang sudah lama punah. Kami juga sama-sama keturunan Indian. Hanya saja darah kulit merah saya 2,5 persen. Sedang darah Indian John 5 persen.

Suku Indian sendiri dipercaya datang dari Asia Utara atau Timur. Mereka sampai ke Amerika ketika daratan dua benua itu masih tersambung. Di dekat Alaska itu.

”Saya tidak percaya ada ras tertentu lebih unggul dari ras lainnya,” ujar John. ”Tapi itulah yang dikembangkan di Eropa sejak ratusan tahun lalu,” tambahnya.

Teknologi tes ras sendiri kian maju. Dulu hanya ada satu lab di Amerika yang bisa melakukannya. Ke situlah kami melakukan tes.

Kini sudah banyak lab sejenis. Tiongkok pun sudah membuka praktik seperti itu. Sudah menjadi ladang bisnis baru yang laris. Lab-lab baru terus dibuka. Di Tiongkok saja kini sudah ada beberapa.

Orang begitu emosional soal ras. Orang begitu ingin tahu: saya ini orang apa. Bisnis yang terkait emosi adalah bisnis yang pantang resesi.

Teknologi mungkin juga akan menyelesaikan perbedaan ras. Rasanya tidak ada lagi orang yang masih 100 persen dari ras yang mereka percaya.

Saya yang merasa Jawa ternyata keturunan campuran: Neanderthal, Indian, Tionghoa, Arab, dan Asia Tenggara.

Kelak, kalau teknologi ras di Asia sudah semaju Amerika, mungkin yang disebut ”ras Asia Tenggara” itu bisa lebih dirinci lagi.

Jangan-jangan yang disebut ras Asia Tenggara itu Sunda Empire.




Ji Chang-wook Gelar Fansign di Jakarta 12 Mei Mendatang, Siap Suguhkan Pengalaman Istimewa bagi Para Penggemar

Sebelumnya

Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Disway