Yudiu pun bisa membeli sepatu. Dengan uang hasil keringatnya sendiri.
Ia juga belajar keras, meski tiap hari juga bermain sepak bola: posisinya penyerang.
Ia ingin punya ijazah SMA Amerika, meski hanya setahun di situ. Ia harus bisa melahap semua pelajaran SMA. Toh ia sudah lulus SMA di Jogja.
”Jadinya saya punya dua ijazah SMA,” ujar Yudiu saat rekaman video ”Abah Menjawab” di rumah saya.
Di video itu saya yang mewawancarainya. Akan disiarkan beberapa hari lagi.
Atau mungkin tidak akan pernah disiarkan.
Tergantung.
”Tergantung apa?” tanyanya.
"Tergantung Ensterna bisa beroperasi atau tidak,” jawab saya sambil bercanda.
PT Ensterna Indonesia adalah perusahaan baru. Yudiu-lah Dirutnya. Itu bergerak di bidang irradiasi, atau sterilisasi. Untuk produk apa saja. Bisa buah, alat kesehatan, pakaian, sampai makanan dan minuman.
Investasinya hampir Rp 200 miliar.
Tiba-tiba ada Covid-19. Terhambat luar biasa, mestinya. Tenaga ahli dari luar negeri tidak bisa ke Indonesia. Padahal mesin-mesin sudah tiba di lokasi pabrik: di kompleks industri Tambak Langon Surabaya.
Saya tidak paham cara kerja mesin itu. Pun setelah dijelaskan. Sebagai ”anak TK” di bidang itu saya punya pemahaman sendiri: itulah mesin pembuat petir, sekaligus penipu petir.
Lihat sendiri saja videonya nanti, jalau jadi disiarkan.
Syarat agar video itu disiarkan adalah: kalau pabrik Ensterna sudah beroperasi.
Mestinya seminggu lagi: 4 Juli 2020, bersamaan dengan hari ulang tahun Amerika Serikat: negeri yang membuatnya bisa beli sepatu pertama. Juga negeri yang membuatnya menjadi doktor ahli nuklir.
Tapi ada Covid-19. Para ahli luar negeri tidak bisa datang.
”Anda kan lebih ahli dari mereka,” kata saya.
Betul. Tapi mesin ini tiba tanpa petunjuk apa-apa. Ada rahasia pabrik mesin di situ. Petunjuk itu baru akan diberikan kelak, setelah mesin diserah terimakan dalam kondisi beroperasi.
Tapi kapan Covid-19 ini berakhir? Akankah investasi begitu besar harus kalah dari Covid? Bagaimana kewajiban terhadap banknya nanti?
Yudiu pun membentuk tim teknologi. Anak-anak muda dari Jogja ia kerahkan: yang lulusan teknik nuklir UGM. Atau yang semester akhir.
Merekalah yang mengambil alih peran tenaga asing.
Mesin pun dibuka. Sangat banyak software di situ yang harus dipelajari. Celaka: semua software dikunci dengan password.
Ada yang akhirnya bisa menemukan rahasia itu. Begitu dibuka ketemu password lagi. Yang berikutnya lagi. Password dikunci dengan password.
Satu per satu kesulitan itu terpecahkan. Saat saya menulis naskah ini tinggal satu password lagi yang sedang dikeroyok anak-anak muda itu. Yang umurnya 22, 23 dan yang paling tua 27 tahun.
KOMENTAR ANDA