Sang ayah --apalagi kalau bukan-- pengusaha kopra. Zaman itu kopra adalah emas-nya Indonesia. Sang ayah berteman baik dengan pedagang besar kopra lainnya: Eka Tjipta Widjaya. Yang kelak menjadi konglomerat terbesar di Indonesia --lewat grup Sinar Mas-nya.
Sang ibu dimakamkan hari ini. Karangan bunga luar biasa panjangnya. Mengular di sepanjang jalan Kedung Baruk Surabaya.
Di situlah, di sebelah gedung olahraga itu, Arif membangun kerajaan barunya: properti. Ia membangun tiga tower. Satu untuk hotel Novotel. Satu lagi untuk apartemen. Dan tower ketiga untuk gedung perkantoran.
Saya parkir di basement tower-tower itu. Lalu jalan kaki ke gedung olahraga di sebelahnya.
Di persemayaman saya bisa bertemu Arif dan adik-adiknya. Mereka tujuh bersaudara. Semua kumpul di PT Samator. Yang lima orang tetap menganut Buddha meski tidak semuanya Maitreya. Yang dua, wanita, kini menganut Kristen --ikut suami mereka.
Ayah mereka sudah meninggal 10 tahun lalu. Dan sang istri terpaksa tidak bisa satu pemakaman dengan sang suami. Makam yang lama itu sulit dimasuki. Sudah terhalang banyak pemukiman.
Maka sang ibu setuju kalau dimakamkan terpisah. Di Lawang, dekat Malang. Toh tidak begitu jauh dari makam sang suami.
Padahal, saat memakamkan sang ayah dulu, sudah sekalian digali lubang untuk calon makam sang ibu.
Sang anak, sepanjang hari, terus di ruang persemayaman itu. Setiap kali ada rombongan yang sembahyang ia harus mendampingi. Sepanjang hari. Dari pagi sampai malam. Selama lima hari.
Sang anak kelihatan lega bisa memberikan penghormatan terakhir bagi ibunda secara layak. Kalau saja salah langkah mereka tidak akan bisa melawan prosedur pemakaman Covid-19.
Amitohu!
KOMENTAR ANDA