Maka Sabit menjawab, “Aku rela dengan berita gembira dari Allah Swt dan Rasul-Nya. Aku tidak akan meninggikan suaraku lagi selamanya lebih dari suara Rasulullah.”
Kisah ini telah lebih dari cukup menggambarkan betapa memungkinkan bagi seseorang untuk belajar merendahkan nada suaranya. Selagi mau berusaha, lambat laun akan berhasil jua.
Nabi Muhammad itu lembut suaranya dan manis tutur katanya.
Padahal latar sosial beliau hidup di tengah masyarakat Jahiliyah yang termasyhur dengan kekerasan, dan tidak mungkin dong manusia-manusia keras itu bernada lembut dalam bicara.
Apakah lingkungan keras itu berpengaruh terhadap Rasulullah? Tidak, sama sekali. Karena beliau manusia tangguh, yang bukannya terpengaruh melainkan memberi pengaruh positif. Justru kelembutan suara yang menjadi daya tarik Rasulullah.
Para pemusik adalah pihak yang aktifitasnya amat berkaitan dengan suara. Dari sudut pandang mereka ini, dapat kita ketahui sesungguhnya suara itu bisa menjadi daya tarik seseorang.
Sebagaimana Djohan menjelaskan pada buku Psikologi Musik, bahwa hal itu disebabkan dalam setiap individu terdapat daya tarik untuk mengorganisir suara. Sebuah daya tarik yang melampaui batasan budaya . Juga dilengkapi potensi untuk membuat seseorang tertawa, menangis, suka tidak suka, atau membekas secara berbeda.
Ringkasnya, tidak dibutuhkan jampi-jampi dukun guna membuat diri kita memiliki pesona, dan bukan pula berarti kita harus menjadi penyanyi. Karena intonasi suara nan lembut akan memancarkan pesona diri.
Berhubung suara itu dapat menjadi daya tarik, maka pesona suara itu dipancarkan terlebih dulu kepada pasangan. Mari kita mulai hari yang indah dari rumah tangga; saat bangun pagi mendengar nada suara yang lembut, sehingga pikiran tenang, hati tentram dan mampu fokus dalam berkegiatan.
KOMENTAR ANDA