Saya ikut terharu ketika dokter Andani menceritakan perasaan Bu Risma. ”Beliau itu ibaratnya ingin sekali mengatasi Covid-19 di Surabaya. Surabaya itu punya segala-galanya. Tapi tidak punya laboratorium yang memadai,” ujar Andani.
Yang membuat Andani juga lega adalah ini: adanya kesepahaman bahwa angka positif nanti akan naik drastis. Dan itu tidak apa-apa. Tidak akan merasa malu. ”Sikap seperti ini penting sekali untuk mengatasi penularan Covid-19,” ujar Andani.
Maka Bu Risma pun membuat putusan cepat. Agar sebanyak mungkin tes PCR dilakukan di Surabaya. Bisa dimulai seminggu lagi. Kapasitas lab akan dinaikkan drastis secara bertahap. ”Akhirnya akan bisa mencapai 4.000 - 5.000,” sehari.
Maka jangan kaget kalau angka-angka baru penderita Covid-19 akan melonjak di Surabaya. Tapi itulah kenyataan yang riil. Yang tidak perlu disembunyi-sembunyikan.
Dengan memperbanyak tes seperti itu --meski pun pahit-- rantai penularan bisa diputus.
Ketika angka positif di Surabaya nanti melonjak, daerah lain jangan sampai mencemooh dulu. Bisa jadi daerah lain itu lebih parah --hanya saja masih tersembunyi.
Memang memperbanyak pemeriksaan itu tidak bisa jalan sendiri. Harus diikuti dengan sistem monitoring yang ketat. Monitoring secara manual tidak mungkin lagi.
Itulah sebabnya saya juga salut bahwa Alghozi, si Melinial Nakal itu, masih bertahan di Surabaya. Siapa tahu ia juga akan dibutuhkan.
Kombinasi perbanyak tes dan teknologi monitoring adalah pedang dua mata yang paling ditakuti Covid-19. Tapi banyak di antara kita sendiri ternyata masih takut menggunakannya.
加油 Surabaya!
KOMENTAR ANDA