Tiga hal yang menjadi perhatian pokok Pak Nuh di bidang sekolah online ini. Pertama, mahalnya pulsa bagi 70 juta peserta didik. Di segala tingkatan. Kedua, perlunya dipahami beda belajar 'di' rumah dan belajar 'dari' rumah. Ketiga, perlunya evaluasi atas terjadinya losses di proses pendidikan secara online.
Proses pendidikan itu, kata beliau, adalah untuk membentuk karakter, mengajarkan skill, dan meningkatkan ilmu pengetahuan.
Harus dievaluasi seberapa banyak anak didik kehilangan capaian di tiga bidang itu. Agar setelah pandemi nanti kehilangan itu harus ditebus.
Sebenarnya Pak Nuh itu 'hanya' sejak kecil sampai lulus SD sekolah di madrasah. Yang seusai sekolah masih belajar agama di pondok.
Setelah itu Pak Nuh sekolah SMP Wachid Hasyim dan SMAN 9 Surabaya. Masih ke sekolah umum: ITS. Masuk ke teknik elektro. Jurusan sistem kontrol. Pun S-2 dan S-3 di Prancis. Bidangnya biomedik.
Tapi soal penguasaan agama Islam setingkat ulama.
Maka Pak Nuh itu komplet. Ulama yang teknokrat. Dan teknokrat yang ulama.
Ketika menjadi rektor ITS keteknokratannya sangat terlihat. Itulah sebabnya beliau langsung diangkat menjadi menteri Kominfo. Lalu ke portofilio yang lebih besar: Mendiknas.
Dan setelah itu pun tetap menonjol keteknokratannya. Yakni ketika diserahi memimpin rumah sakit Islam di Surabaya. Yang lantas diikuti dengan berdirinya Universitas Nahdlatul Ulama di sebelahnya. Lengkap dengan fakultas kedokteran. Maka inilah fakultas kedokteran swasta satu-satunya di Jatim yang punya teaching hospital sendiri.
Maka tidak heran kalau banyak yang menghendaki orang seperti Pak Nuh bisa menjadi ketua umum PB NU. Mumpung NU lagi mau muktamar. Beliau bisa dipilih untuk menggantikan Dr KH Said Aqil Siradj. Yang sudah menjabat dua periode.
"Saya ini pakai kopiah hitam saja jarang," komentar Pak Nuh. Lantas tersenyum. "Apalagi kopiah putih. Apalagi sorban," katanya. Terus merendah.
Memang sudah banyak yang lupa: padi itu kian merunduk ketika kian berisi.
KOMENTAR ANDA