Suwadji mengajak Helen ke Beijing. Padahal Helen adalah alumnus SMA St. Louis Surabaya. Tujuannya agar Helen melihat sendiri: begitulah seharusnya bereuni. Fokusnya adalah guru mereka. Bukan teman-teman seangkatan.
Pulang dari Beijing Helen langsung merencanakan reuni St. Louis angkatan tahun 1983. Fokusnya juga guru.
Saya masih ingat acara itu. Saya diundang untuk ikut memberikan penghargaan kepada para guru. Saya menyentuh banyak amplop tebal di balik penghargaan itu.
Langkah Helen itu akhirnya diikuti angkatan setelahnya. Yakni angkatan 1984. Harry Tanoesoedibjo, bos besar MNC, menjadi ketua panitianya.
Saya lega sempat melayat Suwadji di Adi Jasa, tempat persemayaman jenazahnya itu. Sambil melayat jenazah teman pengusaha lainnya yang juga meninggal dunia. (Baca di DI's Way edisi 28 Agustus 2020: Historisma).
Sudah lama saya tidak bertemu Suwadji. Pertemuan terakhir dengan Suwadji adalah tahun lalu. Yakni di acara tahun baru Imlek. Di Shangrila Hotel. Yang juga dihadiri Duta Besar Tiongkok dari Jakarta.
Saya sempat mendengar ia akan mengajak saya pergi ke Xi'an, ibukota China 5.000 tahun yang lalu. Ia memang ketua perhimpunan pengusaha Xi'an-Indonesia.
Saya juga tahu ia punya hobi yang tidak lazim di kalangan pengusaha: membaca buku. Terutama buku sejarah kuno.
Suwadji memang kaya. Tapi juga tidak hanya mengurus perusahaan. Ia banyak membina yayasan sosial. Juga yayasan pendidikan. Pun sampai menjadi pembina Surabaya Simphoni Orkestra.
Suwadji adalah gajah yang meninggalkan tidak hanya dua gading.
KOMENTAR ANDA