Semua dokter seharusnya bisa tetap jadi ilmuwan. Dan itu didukung oleh status dokter sebagai profesi. Bukan sebagai pekerja. Ketika melakukan aktivitas, seorang dokter itu disebut berprofesi. Bukan bekerja.
Sebuah pekerjaan baru bisa disebut profesi kalau -salah satu syarat pentingnya- memiliki otonomi untuk melakukan atau tidak melakukan.
Definisi itulah yang membuat dokter semestinya tidak pernah berhenti sebagai ilmuwan. Ia/dia memiliki otonomi itu.
Dokter berbeda dengan kita-kita yang bekerja hanya sesuai dengan SOP.
Maka, beruntunglah orang yang baru akan terkena Covid-19 tahun depan. Nasibnya akan sangat berbeda dengan yang sudah terkena Covid-19 enam bulan yang lalu.
Mestinya.
Waktu itu semua dokter gagap. Ini penyakit yang belum pernah ada. Tapi, keilmuwanan dokter membuat mereka terus belajar. Berpikir. Mencoba. Tentu ada yang gagal. Tapi, pasti ada yang berhasil. Atau setengah berhasil.
Saya akan minta seorang dokter untuk menulis. Terkait soal pengobatan Covid-19 ini. Kalau ada. Apa saja yang enam bulan lalu dilakukan dan apa saja yang hal itu tidak ia/dia lakukan lagi.
Juga apa saja yang dulu belum dilakukan dan kini, enam bulan kemudian, sudah ia/dia lakukan.
Tentu bagi yang sudah telanjur meninggal tidak punya hak untuk menyesal. Jasa mereka tetap besar sebagai ”korban” proses berkembangnya ilmu pengetahuan.
Toh Tuhan sudah menjanjikan bahwa ”mereka yang meninggal akibat wabah” berstatus mati syahid: pasti masuk surga.
Pun mereka ini: 103 dokter Indonesia yang tercatat sampai kemarin telah meninggal dunia.
Sedang kita-kita masih dalam status mencari jalan bagaimana kelak bisa masuk surga.
KOMENTAR ANDA