INILAH new normal saya: menerima tamu di bawah pohon mangga. Sejak new normal saya memang mulai menerima tamu. Tanpa minuman. Tanpa suguhan.
Kami juga bisa menjaga jarak jauh-jauh. Halaman ini agak luas. Di depan studio gamelan itu. "Ni Hao!" tiba-tiba seorang tamu menyapa saya dalam bahasa Mandarin.
Padahal agenda saya kemarin adalah menerima tamu dari pondok pesantren Nurul Jadid, Probolinggo dan dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Lalu rombongan dari pesantren di Pasuruan dan dari pondok pesantren Dalwa Bangil dan Mambaus Sholihin Gresik.
"Ni Hao ma," sapa tamu itu lagi.
Dari nada ucapannya, tamu itu seperti benar-benar bisa berbahasa Mandarin. Nada pengucapannya sangat benar.
Alumni Nurul Jadid itu ternyata sudah 10 tahun di Xiamen. Ia kuliah di Xiamen University. Sampai S-2 di situ. Kini ia lagi kuliah S-3 di Guangzhou. Di Sun Yat-sen University. Disertasi doktornya nanti akan ditulis dalam bahasa Mandarin.
Namanya: Novi Basuki.
Umur: 27 tahun.
Novi lahir di lereng gunung Argopuro, Situbondo. Ia anak tunggal dari petani tidak tamat SD di desa Sumber Malang itu.
Sejak tamat SD Novi sudah ingin masuk pondok pesantren Nurul Jadid. Pondok ini memang sangat terkenal. Tapi Novi dianggap masih terlalu kecil untuk pisah dari orang tua.
Letak desa itu jauh di pedalaman. Perlu waktu naik motor 1,5 jam untuk sampai di Nurul Jadid –tidak jauh dari 'kota PLTU' Paiton.
Pondok ini memiliki SD, Ibtidaiyah, SMP, Tsanawiyah, SMA, Aliyah, pun perguruan tinggi.
SMA-nya pun ada dua: yang unggulan dan yang biasa.
Yang SMA unggulan itu muridnya harus bisa tiga bahasa sekaligus: Arab, Inggris, Mandarin.
Begitu tamat SMP Novi masuk SMA unggulan itu. Kalau siang sekolah bahasa. Kalau malam ngaji kitab-kitab agama dalam bahasa Arab.
Novi angkatan keempat di SMA unggulan itu. Guru bahasa Mandarinnya asli dari Tiongkok. Atas bantuan pemerintah sana lewat Konsulat Tiongkok di Surabaya.
Waktu kelas 2 SMA Novi ikut lomba pidato bahasa Mandarin di Surabaya. Peserta non-Tionghoanya hanya tiga: Novi, satu rekannya dari Nurul Jadid, dan satu lagi dari pondok pesantren di Lirboyo Kediri. Selebihnya anak-anak Tionghoa.
Novi juara pertama.
Ia dikirim ke Jakarta. Untuk lomba tingkat nasional. Yang tiga besarnya akan dikirim ke Xiamen, kota terbesar di Provinsi Fujian. Di Jakarta, Novi juara favorit. Ia pun mendapat beasiswa kuliah di Xiamen. Jurusan bahasa Mandarin pula.
"Juara pertamanya anak Tionghoa dari Pontianak. Sekarang jadi bikkhu Buddha," ujar Novi.
Ia belum tahu kapan bisa kembali ke Guangzhou. Tapi profesor pembimbingnya di sana membuat target bahwa tahun depan Novi sudah harus maju disertasi. Kelihatannya ia akan menulis desertasi tentang Tionghoa Islam di Asia Tenggara.
Selama libur Covid-19 ini Novi pulang ke Situbondo. Ia memanfaatkan waktu untuk menanam sengon di tanah milik ayahnya. Ia juga mulai menanam porang seluas 3 hektare di lereng gunung itu.
"Kalau bisa saya ingin jadi pengusaha," katanya.
"Dapat pacar di Xiamen? Atau di Guangzhou?" tanya saya.
KOMENTAR ANDA