Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

WORLD Mental Health Day alias Hari Kesehatan Mental Sedunia diperingati setiap tanggal 10 Oktober.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kesehatan mental adalah kondisi mental tanpa adanya kecacatan atau gangguan mental. Puncak dari kesehatan mental adalah bagaimana seseorang dapat menjaga kesehatan dan kebahagiaan secara berkesinambungan.

Terlebih di masa pandemi Covid-19, survei terbaru WHO di 130 negara pada Juni - Agustus 2020 memperlihatkan penambahan tajam jumlah kasus gangguan mental. Selain makin banyak penyebab yang memicunya, akses terhadap layanan kesehatan yang terganggu akibat pandemi juga menyebabkan angka gangguan mental makin bertambah.

Memahami Definisi Kesehatan Mental

Kesehatan mental mengacu pada kesejahteraan kognitif, perilaku, juga kondisi emosional. Dengan sejahteranya tiga hal tersebut, kita dapat berpikir, merasa, dan berperilaku sehari-hari dengan baik. Kesejahteraan tiga hal itu juga berpengaruh pada kesehatan fisik dan relasi kita dengan orang lain.

Orang dengan gangguan kesehatan mental bisa dilanda stres, depresi, maupun kecemasan berlebih. Tidak hanya fungsi diri yang dapat menurun digerogoti gangguan tersebut, rutinitas sehari-harinya pun dapat terbengkalai dan hubungan baik dengan orang lain bisa rusak.

Menjaga kesehatan mental berarti kita memiliki ketahanan psikologis serta dapat menyeimbangkan berbagai kegiatan dan tanggung jawab kita dengan harmonis.
Nah, sebagai perempuan, sudahkah kita sehat (secara mental)?

Perempuan, Berkacalah!

Perempuan—terutama dalam menjalankan peran sebagai istri dan ibu—memiliki peran kunci untuk berjalan mulusnya sebuah keluarga. Tak bisa dipungkiri, itulah tugas mulia yang tidak bisa dibilang mudah.

Peran sebagai istri dan ibu yang kadung kita jalani selama bertahun-tahun—belasan tahun bahkan puluhan tahun, tak ayal menggerus keberadaan diri kita sebagai satu individu merdeka.

Kita lebih dikenal sebagai Mrs X di lingkungan rumah dan Bunda X di lingkungan sekolah si kecil. Sepanjang 24 jam waktu kita tercurah untuk mengurus suami dan anak. Kita memasak makanan kesukaan suami dan anak. Yang 'tersisa' untuk diri kita pribadi hanyalah waktu membuka Instagram dan belanja baju secara online.

Ada pula di antara kita yang terjebak rutinitas kantor. Sebelum pandemi, pikiran kita tersita dengan urusan pekerjaan dari pagi hingga sore. Kini, selama WFH, kita baru bisa ngobrol dengan suami dan anak-anak setelah laptop dimatikan—tanpa ada batasan waktu yang jelas.

Beban WFH terasa lebih intens dan berat karena dikerjakan langsung di rumah, tempat yang dulu merupakan "sanctuary"—bebas tekanan kerja dan penuh kedamaian. Walhasil, kita makin sulit menyeimbangkan kepentingan keluarga dengan kepentingan pekerjaan.

Kembali lagi dengan pertanyaan di atas: Sudahkah kita sehat secara mental? Atau jangan-jangan, kita sendiri tidak tahu apakah kita benar-benar sehat atau tidak.

Ada banyak teori untuk memastikan kesehatan mental seseorang. Salah satu jalan sederhananya adalah dengan jujur pada diri sendiri untuk melihat secara objektif apakah kita mampu berpikir, merasakan emosi, menyatakan perasaan kita, serta menyalurkan emosi dengan cara yang positif bahkan menyenangkan.

Ketika kita sering merasa tidak percaya diri dengan keputusan yang kita ambil, kita merasa harus menyembunyikan perasaan dari suami, kita mulai 'tidak bisa hidup tanpa suami' alias tidak bisa mandiri dan bergantung secara pemikiran, kebiasaan hidup, maupun finansial, juga taklid buta terhadap perkataan suami, maka bisa dipastikan ada yang salah dalam diri kita.

Ketika kita setiap malam mengeluhkan beratnya pekerjaan kantor, membicarakan keburukan si bos dan rekan-rekan kerja, atau kita kerap sulit tertidur karena terlalu tegang menghadapi presentasi esok hari, atau bahkan merasa terintimidasi dengan perilaku rekan kerja, semua itu juga tanda bahwa kesehatan mental kita terganggu.

Berjuang Untuk Sehat

Bagaimana memperjuangkan mental yang sehat?

Peran yang kita jalani sebagai istri, sebagai ibu, sebagai karyawan maupun bos harus menjadi peran yang kita cintai.

Segala kesibukan yang menjadi konsekuensi dari peran tersebut menjadi sarana menambah kebahagiaan, bukan untuk merusak kebahagiaan.

Seandainya pikiran kita merdeka, hati pasti menjadi tenang. Seandainya kita bisa mengekspresikan emosi yang kita rasakan, hati pasti menjadi damai. Seandainya semua perbuatan kita adalah hal positif yang membawa kebaikan dan kemajuan bagi orang-orang di sekitar kita, hati pasti merasa bahagia.

Itulah yang dinamakan pikiran, perasaan, dan tindakan yang sejahtera. Itulah yang disebut mental yang sehat.

Kita berpikir, merasa, dan bertindak dengan penuh kesadaran hingga mampu menikmati proses yang penuh peluh dan hasil yang mungkin tak seindah harapan. Kita masih mampu bersyukur karena kita memahami tak ada manusia yang sempurna dan kita berada dalam kehidupan yang tak sempurna.




Stella Christie, Ilmuwan Kognitif dan Guru Besar Tsinghua University yang Terpilih Jadi Wakil Menteri Dikti Saintek RI

Sebelumnya

Nicke Widyawati Masuk Fortune Most Powerful Women 2024

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women