DISWAY hari ini saya tulis di rumah sakit: saya terkena Covid-19.
Awalnya saya tidak mau masuk RS. Terlalu banyak yang bercerita di RS justru berbahaya. Toh tidak ada keluhan yang berat. Hanya batuk-batuk kecil. Tidak demam. Sambal istri saya masih terasa pedasnya. Masih menitikkan air liur.
Tapi dua anak saya memaksa. Kebetulan ada satu kamar baru kosong di RS langganan keluarga. Setidaknya mumpung ada kamar.
Batuk-batuk kecil itu terjadi sehari sebelumnya: Sabtu. Pagi itu saya masih olahraga satu jam di halaman depan Graha Pena. Lalu sarapan. Setelah itu perut saya kembung. Batuk-batuk kecil. Saya pikir akibat sambal tomat hijau yang terlalu banyak.
Lalu saya minum 4 kapsul Lian Hua. Siangnya 4 kapsul lagi. Sore lagi. Kembung perut berkurang. Saya pun pup lima kali. Tapi tidak diare.
Minggu pagi besoknya kondisi lebih baik lagi. Saya mau berangkat olahraga. Anak saya melarang. Lalu: saya, istri, dan Kang Sahidin test antigen: saya positif. Istri dan Kang Sahidin negatif.
Setelah tahu positif: masuk RS atau tidak? Atau swab PCR dulu?
Saya ikuti keinginan anak-anak: masuk RS. Tapi tidak boleh langsung ngamar. Ditangani dulu di UGD: Swab-PCR.
Sambil menunggu hasil — lima jam menunggu — dilakukan banyak hal: ukur tekanan darah (144/77), level oksigen (97), suhu badan (38, tinggi), detak jantung (71), pemeriksaan jantung (bagus), CT Scan paru-paru (bersih).
Di UGD itu saya langsung diinfus penurun panas. Setengah jam selesai.
Jam 23.00 hasil PCR keluar: positif. Strong positif.
Ternyata hasil PCR itu empat macam: negatif, weak positif, positif, dan strong positif. Berarti positif saya ini tidak main-main.
Saya langsung ngamar.
Perasaan saya biasa saja. Toh saya tahu jantung dan paru-paru saya baik.
Betul juga saya mengikuti keinginan anak-anak. Kalau isolasi di rumah, saya tidak akan tahu kondisi organ-organ tersebut. Jatuhnya hanya menduga-duga. Yang justru bisa bikin was-was.
Saya sudah membawa koper yang disiapkan istri: pakaian dan peralatan mandi. Juga obat-obatan wajib, terkait transplant hati dulu — termasuk obat penurun imunitas.
Saya langsung tidur. Nyenyak. Sambil diinfus vitamin. Jam 04.00 saya terbangun. Mau kencing. Saya lihat botol infusnya kosong. Saya hubungi perawat. Diganti infus baru dengan isi yang sama.
Saya tidur lagi.
Pagi-pagi suster masuk ruangan. Rutin. Test tekanan darah, oksigen, suhu, dan seterusnya. Hasilnya sama bagus dengan sebelumnya. Bahkan suhu badan saya sudah 36,6. Suster lalu mencopot infus yang sudah kosong.
Tidak ada infusan baru.
Lapar.
Tidak ada pisang. Tidak ada jus jambu merah. Tidak ada dua telur rebus-lunak. Tidak ada pecel. Tidak ada brokoli rebus. Tidak ada sayur. Tidak ada madu.
Eh, madu ada. Saya bawa dari rumah.
Saya rebus air. Untuk minum madu. Tidak kenyang tapi lumayan. Sambil menunggu jatah sarapan dari rumah sakit.
KOMENTAR ANDA