Dahlan Iskan/ Ist
Dahlan Iskan/ Ist
KOMENTAR

Siang harinya perawat melakukan tes lagi. Hasilnya masih tetap baik. Suhu 36,6; tekanan darah 137/69; detak jantung 71; oksigen 96.

Dokter penyakit dalam minta bicara lewat video: Dokter Purnomo Budi Setiawan. Saya kenal lama. Ia dokter yang menangani sakit lever saya, sejak sebelum transplant. Sekarang sudah doktor.

"Fungsi levernya baik sekali," ujar beliau. "Obat-obat terkait transplant terus saja diminum," tambahnya.
Meski video call, saya tidak bisa melihat wajah beliau. Rapat tertutup oleh APD kelas berat. Mungkin beliau juga lagi di rumah sakit. Saya kangen sebenarnya. Sudah lama tidak bertemu. Tapi ya sudah, ada Covid.

Tak lama kemudian ketua tim dokter masuk kamar. Tapi saya lagi video call dengan Singapura dan Tiongkok. Beliau keluar lagi ke kamar lain.

Setelah itu saya tidak mau terima telepon. Agar ketika beliau kembali saya sudah siap.

Saya pun diperiksa di bagian dada dan punggung. Dengan stetoskop. Saya disuruh tarik napas dan melepaskannya. Di 8 titik dada dan 8 titik punggung. Saya tahu itu untuk mendeteksi paru-paru. Yakni organ paling menarik perhatian di pasien Covid-19.

Namanya: dr Hanny Handoko. Laki-laki. Ahli paru dari Unair, Surabaya. Yang pernah memperdalam ilmunya di National University Hospital (NUH) dan Tan Tock Seng Novena. Semuanya di Singapura.

Saya nanti akan bertanya tentang stetoskop yang ia gunakan. Kok berbeda dengan stetoskop biasanya yang kita kenal.

Tapi beliau duluan bercerita. "Kita pernah bertemu di Malang," katanya. Lama sekali. Mungkin 20 tahun lalu.

Waktu itu dokter Hanny menjadi pejabat di bawah wali kota Malang, yang juga dalang itu. Sebelum akhirnya berlabuh di RSAL Surabaya. Dan sekarang di RS swasta ini.

Umurnya 59 tahun. Anaknya dua. Yang pertama S1 di Melbourne. Kini di fakultas kedokteran di Queensland. "Di sana untuk masuk FK harus S-1 dulu," ujar dr Hanny. S-1nya 3 tahun. Pendidikan dokternya 4 tahun. Total 7 tahun. Sebenarnya kurang lebih sama dengan waktu pendidikan dokter di Indonesia. Anak keduanya, putri, masih SMA di Surabaya.

Ternyata, menurut beliau, saya sangat kekurangan vitamin D.

Aneh. Benar-benar aneh. Setiap hari saya olahraga satu jam. Di lapangan terbuka. Kok kekurangan vitamin D.

Tapi saya tidak bisa protes. Hasil test: vitamin D saya hanya 23,4. Padahal setidaknya, harus di atas 40. Antara 40 sampai 100. Berarti vitamin D saya ini rendah sekali.

Itulah sebabnya saya diberi vitamin D (tablet) 5.000.

Mengapa tidak sekalian 10.000?

"Kalau ketinggian nanti kasihan ginjal. Untuk memberi obat, dokter harus mempertimbangkan banyak hal," ujar dokter Hanny.

Di samping itu di Indonesia tidak dijual vitamin D di atas 5.000. "Di Singapura ada. Bahkan ada yang sampai 20.000," katanya.

Di Indonesia kalau memberi vitamin D 10.000 harus lewat suntikan. Kalau di Singapura suntikan bisa sampai 20.000. Bahkan 100.000.

Dokter Hanny lantas seperti menyindir saya. "Banyak yang berolahraga di bawah matahari tapi pakai topi dan kaus lengan panjang," katanya.

Ha...ha...ha... Itu saya!

Alasan resmi saya: saya tidak boleh banyak terkena sinar matahari langsung. Itu terkait dengan obat transplant yang saya minum.

Alasan tidak resminya: takut menjadi lebih item!

Pokoknya: saya salah.

Dokter Hanny begitu serius membahas vitamin D ini. Saya menjadi seperti mahasiswanya: mendengarkan dengan baik. Agar bisa menulis dengan benar.




Ji Chang-wook Gelar Fansign di Jakarta 12 Mei Mendatang, Siap Suguhkan Pengalaman Istimewa bagi Para Penggemar

Sebelumnya

Cerita Pengalaman Vloger asal China Menginap di Hotel Super Murah Hemat Bajet

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Disway