Blood: 135/71
Oxygen: 98
Heart beat: 81
Masih tersisa pekerjaan bagaimana membuat negatif.
Memang tidak mudah. Dokter tahu saya seorang 'residivis'. Termasuk saya ini tidak lagi punya empedu. Empedu saya dibuang 15 tahun lalu. Bersamaan dengan hati saya yang penuh kanker. Empedu itu sendiri, yang mengait di hati itu, memang sudah ikut rusak.
Kalau saya terus digelontor obat anti-virus bisa bahaya: bisa-bisa liver dan ginjal saya yang kalah. Kalau saja saya masih punya empedu masih terbantu. Tugas empedu kan memproses racun. Termasuk racun dari obat-obatan.
Dokter juga harus konsentrasi mengatasi terjadinya pencendolan darah. Dua hari pertama di RS kekentalan darah saya sudah berhasil turun 600 poin. Dari 2.600 ke 2000.
Itu belum cukup. Harus turun 1.500 lagi. Sampai tinggal 500. Atau di bawah itu.
Ketika terjadi penurunan 600 poin itu, dosis obatnya dikurangi. Dokter juga harus memikirkan dampak-dampak lainnya. Akibatnya, dua hari kemudian, angka D-Dimer itu naik lagi sedikit: 50 poin. Akhirnya dosis obatnya dinaikkan lagi. Kembali ke dosis awal.
Hasilnya: kemarin diambil darah lagi. Sudah turun lagi 400 poin. Tinggal perlu turun 1100 lagi.
Saya sendiri akan mengakhiri penggunaan istilah cendol atau mencendol itu. Tapi saya juga belum menemukan istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat.
Salah satu yang menanggapi soal cendol itu adalah Prof Dr Med Puruhito. Beliau adalah "ayatullah" penyakit jantung Surabaya. Beliau juga perintis bedah jantung.
"Istilah yang pas adalah pengentalan. Memang bisa jadi clot. Kalau 'mencendol' kurang pas. Secara fisiologis dan hemorheologis (ilmu aliran darah) adalah mengental," tulis Prof Puruhito.
Clot itulah yang saya gambarkan seperti cendol. Meski tidak terlihat oleh mata. Ukuran cendol itu hanya bisa dilihat di mikroskop.
Intinya: cendol-cendol di darah saya itu sangat berbahaya. Terutama karena status saya yang 'residivis' itu: saya pernah terkena aorta dissection. Tiga tahun lalu. Di Madinah, Arab Saudi.
Hari itu saluran utama darah saya pecah. Sejak dari dekat jantung sampai di sekitar pusar. Sepanjang lebih 50 cm.
Saya bersyukur tidak meninggal saat itu. Terutama saat di penerbangan pulang-paksa dari Madinah ke Surabaya. Atau tiga hari kemudian: saat terbang dari Surabaya ke Singapura.
Di Singapura, saluran darah saya itu dipasangi ring. Sebanyak 176 buah.
Bahayanya: sekarang ini. Cendol-cendol itu bisa melekat, nempel, di salah satu dari 176 ring itu. Lalu cendol lain ikut menempel di cendol pertama. Pun cendol-cendol berikutnya.
Lantas, kapan saja, bisa terjadi takdir buruk: cendol itu lepas dari ring. Lalu ikut mengalir dalam darah. Kintir –dalam bahasa Jawa, entah apakah ada istilah Indonesianya.
Saat cendol itu kintir bisa nyangkut di mana-mana. Terutama ketika melewati saluran darah yang lebih kecil.
Kalau nyangkutnya di jantung, bisa berakibat serangan jantung: bisa meninggal. Kalau menyangkutnya di saluran darah otak, bisa stroke: meninggal.
Darah itu mengental, atau mencendol, akibat virus Covid-19.
Rupanya, ketika virus masuk ke badan, badan kita berusaha melawan virus Covid. Akibat
perlawanan itu menghasilkan zat tertentu yang bisa membuat darah mencendol.
Entahlah. Mungkin tidak begitu. Bisa saja saya salah membaca literatur soal ini. Saya bukan dokter yang punya kemampuan membaca literatur dengan benar.
Selama di rumah sakit, saya tidak banyak bertanya ke dokter. Saya percaya penuh. Saya juga tidak pernah menyarankan harus begini atau begitu.
Saya selalu mengakui kepintaran dokter. Sampai jauh di dalam hati saya. Kebetulan semua tindakan dokter, di rumah sakit ini, cocok dengan pikiran di kepala saya.
KOMENTAR ANDA