Foto : Instagram@eneskusuma
Foto : Instagram@eneskusuma
KOMENTAR

SEDARI kecil, Enes Kusuma sudah akrab dengan konsep keluarga demokratis. Sebagai anak sulung Founder Ibu Profesional Septi Peni Wulandani, Enes merasakan keterampilan parenting yang diterapkan sang ibu di rumah. Tak heran bila sosok ibu dan ayahnya, Dodik Mariyanto, benar-benar menjadi panutan bagi Enes serta dua adiknya, Kusuma Dyah Sekararum (Ara) dan Elan Jihad Kusuma (Elan) dalam berperilaku dan bertindak.

Sebagai perempuan, Enes menyadari pentingnya menjadi ibu profesional, yaitu bersungguh-sungguh dan kuat menjalankan perannya, baik sebagai pribadi, istri, dan ibu. Profesional di ranah domestik dan publik. Menjadi ibu bahagia berkarya.

Bagi pemilik nama Nurul Syahid Kusuma ini, berkarya yang bermakna adalah melakukan kegiatan yang menghadirkan bakti bagi sesama. Prinsip itulah yang ia wujudkan lewat SEMI (Save Earth More Intensive), sebuah proyek pengelolaan dan pengolahan sampah secara sederhana yang digagasnya saat masih berusia usia 10 tahun.

Berawal dari melihat tumpukan sampah, Enes justru memandangnya berbeda, yaitu sebagai 'bahan baku yang belum diolah'. Ia mengajak teman-teman dan anak-anak di lingkungan sekitar untuk melakukan daur ulang sampah. Trash becomes cash.

Sampah didaur ulang menjadi kompos, menjadi barang-barang yang dapat digunakan sehari-hari, juga karya seni. SEMI mengantarkan Enes kecil terpilih menjadi Young Changemaker Ashoka 2009. Ashoka Foundation yang digagas Bill Drayton adalah komunitas para social entrepeneur. Salah satu programnya adalah menciptakan lingkungan yang mendukung anak dan remaja untuk berempati pada lingkungan dan take action sebagai agen perubahan.

Keputusannya untuk merantau ke Singapura di usia 14 tahun juga tak kalah mencengangkan. Dalam event Jumpa-Jumpi Virtual Ibu Profesional Jakarta Desember 2020 lalu, Enes berkisah bahwa hidup di negeri orang menempanya untuk mandiri dan sigap, termasuk mandiri secara ekonomi.

"Saya bekerja part time, menjadi pelayan, mengajar les privat anak TK dan SD... Peluang apa pun saya ambil. Dan saya juga memutuskan untuk mengambil bagian, bukan menunggu (kesempatan datang)."

Demikian pula dalam berorganisasi dan berkontribusi. Ibu muda satu anak ini memilih untuk mengambil bagian dan 'menyodorkan' diri untuk berkontribusi. Ketika ia merasa sebuah organisasi memiliki value yang sesuai dengan apa yang diyakini, ia tak ragu mengajukan diri mengemban amanah untuk bisa aktif di dalamnya.

Ketika awam melihat Enes saat ini, sosoknya memang begitu menginspirasi. Ia seorang ibu pembelajar, changemaker, ibu bahagia berkaya yang mampu menghadirkan versi terbaik dirinya.

Ketika ditanya tentang bagaimana cara terbaik memotivasi diri agar perempuan mau menjadi sosok profesional dalam menjalankan fungsi mereka sebagai ibu maupun anggota masyarakat, berikut ini jawaban Enes.

“Tentunya berbeda-beda untuk setiap orang. Bagi saya pribadi, menjadi profesional merupakan value yang saya pegang agar senantiasa menjadi pengingat untuk tidak menjalankan sesuatu dengan setengah-setengah. Karena sayang, waktu dan tenaga yang terbuang hampir sama, tapi hasilnya jauh berbeda.”

Sejak dulu, Enes tidak pernah membangun tembok yang membatasi keingintahuannya. Enes pernah mengecap pendidikan homeschooling juga bersekolah formal di sekolah negeri. Hebatnya, ia lulus S1 pada usia 18 tahun. Tanpa akselerasi.

Selepas SMA, Enes mengambil kuliah jurusan keuangan. Enes juga pernah membangun fashion brand Eneska. Kita melihat bagaimana kehidupan demokratis yang ditanamkan Pak Dodik dan Ibu Septi berhasil membuatnya tak lelah mengeksplorasi diri di berbagai bidang. Termasuk aktif di School of Life Lebah Putih yang digagas orangtuanya.

Dalam blognya, Enes menulis:

Dulu, saya sangat tidak suka bergerak di bidang pendidikan, karena sama saja saya terjun ke dunia di mana saya pasti akan dibandingkan dengan ibu saya. Maka dari itu, di usia 16 tahun saya memilih untuk kuliah di jurusan keuangan, bukan pendidikan.

But, saya bukan salah jurusan, saya menyukai keuangan dengan segala renak-reniknya. Namun ketika ditanya “apa yang membuat mata saya berbinar? Apa yang membuat saya ingin terus melakukannya meski berbagai rintangan menghalang?” Pertanyaan itu membuat saya menilik kembali hidup saya jauh ketika saya masih berusia 9 tahun. Kala itu, ibu saya sedang bersinar dengan Jarimatika, dan saya menjadi pengajar termuda di Jarimatika sebagai pengampu kelas level 1 yang berisi murid kelas 1 SD dan TK. Mereka memanggil saya, Bu Enes.

Dilanjutkan ketika pergi ke Singapura, salah satu jalur rezeki saya adalah pendidikan. Melalui private tutoring saya bisa memenuhi kebutuhan hidup saya sehari-hari. Dan saya menikmati setiap detik bersama anak-anak. Bahkan tidak jarang saya diajak lomba lari, atau bermain hal yang lucu.

Akhirnya, saya putuskan, apa pun yang terjadi, saya akan memilih pendidikan sebagai jalur hidup saya. Meski nanti akan diremehkan atau dipandang sebelah mata, saya tidak apa-apa, karena saya sudah yakin memilih dengan berbagai konsekuensinya.

Enes mengakui bahwa Ibu Profesional telah menjadi satu jalan baginya untuk berkembang sedemikian cepat sebagai pribadi.

Ia mengikuti setiap program dalam Ibu Profesional karena merasa bahwa apa yang dijalankannya memang bermanfaat besar bagi pengembangan dirinya. Dari program Bunda Cekatan hingga Bunda Produktif, semua mengajarkan Enes untuk mengetahui kekurangan sekaligus meng-upgrade dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women