Teguhnya mahligai rumah tangga tergantung kepada pondasinya, cinta Ilahi itu amatlah dalam, kuat, tangguh dan menyelamatkan dunia akhirat/ Net
Teguhnya mahligai rumah tangga tergantung kepada pondasinya, cinta Ilahi itu amatlah dalam, kuat, tangguh dan menyelamatkan dunia akhirat/ Net
KOMENTAR

MESTINYA bisa!
    
Idealnya memang demikianlah jawabannya. Bukankah cinta itu hebat. Lagi pula cinta itu menghasilkan energi digdaya. Gunung tertinggi dapat didaki, lautan luas diseberangi, samudera terdalam diselami.

Apa lagi yang kurang?

Kalau cinta diharapkan menyelesaikan segalanya, termasuk krisis keuangan yang memporak-porandakan rumah tangga, kasihan juga ya nasib cinta itu sendiri! Alangkah berat beban yang mesti dipikul cinta. Itu pun kalau cinta itu masih ada, kalau telah pupus apalah daya!

Namun berperang dengan perut sendiri, ternyata lebih perih dari pada bertempur dengan penjajah bersenjata api. Lapar itu terlalu menyakitkan, bahkan lapar dapat menggusur cinta. Pasalnya, cinta tidak akan membuat kita kenyang, bukan termasuk jenis makanan sih.

Bukan hanya cinta yang bisa pupus, agama seseorang pun bisa berganti hanya demi masa depan sebidang perut. Kalaupun kita kuat menahan gejolak perut, tetapi sedikit orangtua yang kuat melihat derita serupa bagi anak-anaknya.

Dan kini pandemi menghadirkan tantangan yang berbeda, Covid-19 nyaris setahun hadir di bumi ini, dan orang-orang mulai kehilangan rasa takut terhadap virus tersebut, karena krisis keuangan ternyata lebih menyeramkan terkamannya.

Sebagian masyarakat mulai terbiasa mendengar pertengkaran-pertengkaran rumah tangga, yang isunya beralih dari perselingkuhan menjadi persoalan ekonomi. Sedihnya, sejumlah rumah tangga bubar, perceraian terpaksa dipilih meskipun pahit. Tetapi lebih pahit lagi kalau bertarung dengan sebidang perut, karena krisis finansial ternyata lebih akut daripada sel-sel kanker.

Uniknya, rumah tangga Nabi Muhammad pun tidak sepi dari yang namanya krisis finansial. Aisyah bersaksi beberapa purnama tidak menyala api di dapur rumah Rasulullah. Beliau sekeluarga hanya makan beberapa butir kurma dan minum air saja untuk bertahan. Sering pula keluarga Rasul hanya makan roti keras dari bahan murahan belaka.

Itu kejadiannya dalam masa krisis ekonomi. Tetapi beliau dan umatnya juga mengalami masa-masa berjaya, yang mana keuangan amatlah sehat.

Dan di saat kaum muslimin merasakan kehidupan yang sejahtera, keluarga Rasulullah tetap memilih kesederhanaan. Jauh berbeda dengan gaya para raja yang rakyatnya kelaparan, tetapi raja berkain sutera, bermakhota emas permata, dan hidup berfoya-foya.

Pernah juga istri-istri Rasulullah  beramai-ramai meminta kenaikan uang belanja kepada suami. Wajar toh! Lagi pula Rasulullah punya kemampuan secara finansial, terlihat dari kemurahan tangan beliau menyumbangkan apa saja kepada orang-orang yang membutuhkan.

Tapi beliau hanya memberikan nafkah yang sederhana, lebih rendah dari kehidupan masyarakatnya. Aneh bukan!

Tekanan dari tuntutan para istri itu menggusarkan hati Rasulullah dan Allah pun menurukan petunjuk pada surat Al-Ahzab ayat 28-29, yang artinya, “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah agar kuberikan kepadamu mut‘ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu menginginkan Allah dan Rasul-Nya dan negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kamu.”

Sayyid Qutb pada Tafsir Fi Zhilalil Qur`an menerangkan, Rasulullah telah memilih untuk dirinya dan untuk keluarganya kehidupan yang sederhana, bukan karena tidak mampu meraih kenikmatan hidup. Padahal, kedermawanan beliau tidak pernah putus-putus memberikan sedekah, hibah dan hadiah.

Gaya hidup demikian telah menjadi pilihan Rasulullah untuk menempatkan diri di atas kehidupan duniawi dan keinginan yang tulus terhadap pahala dan balasan di sisi Allah.

Namun, istri-istri Nabi Saw. pun adalah manusia biasa yang memiliki tabiat-tabiat manusiawi pula, meskipun mereka memiliki keistimewaan, kemuliaan, dan kedekatan dengan sumber-sumber kenabian yang mulia.

Maka, setelah mereka melihat kelapangan dan keluasan dengan berlimpahnya rezeki yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, mereka kembali bernegosiasi dengan Nabi Saw. tentang nafkah.

Rasulullah tidak menyambut negosiasi itu dengan hangat, tetapi malah beliau sedih dan tidak rida dengan hal itu. Istri-istrinya pun menyadari kekeliruan, suaminya adalah teladan bagi umatnya.

Akhirnya para istri memilih tetap mendampingi Rasulullah, mempertahankan rumah tangga yang sederhana. Lagi pula konsep sederhana yang membuat perjalanan hidup terasa ringan.

Konsep sederhana itu pula yang menurun kepada putri Rasul, Fatimah. Ketika tidur dengan suaminya, ternyata selimutnya terlalu minimalis. Bila ditarik ke atas kaki yang kedinginan, diturunkan ke bawah giliran tubuh bagian atas yang menggigil.

Lantas cinta macam apakah yang mampu setangguh itu?
    
Kalau mengandalkan cinta yang dulu mekar di malam pengantin, maka perasaan itu dapat pupus. Bahkan tidak ada masalah keuangan pun, perasaan yang dulu bergelora seperti kehilangan tenaga.

Kita butuh cinta yang lebih dahsyat. Bukan sekadar cinta dua insan yang lagi mabuk kepayang, yang kemudian betul-betul mabuk diterjang persoalan kehidupan.

Di atas pondasi cinta apakah pernikahan ini kita tegakkan?

Banyak rumah tangga yang mengalami krisis yang lebih mengerikan, tetapi mereka mampu bertahan bahkan cintanya kian bersemi. Apakah rahasianya? Cinta apakah yang teramat dahsyat itu?




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur