KALAU saja tidak terkena Covid-19 mungkin saya tidak kenal istilah ini: D-dimer.
Tentu saya sudah ratusan kali memeriksakan darah. Tapi baru di saat terkena Covid-19 Januari lalu itu unsur D-dimer darah saya diperiksa: 2.600.
Saya bersyukur tim dokter memasukkan D-dimer ke dalam daftar yang harus dicek. Lalu ketahuanlah angka 2.600 tersebut. Kelewat tinggi. Normalnya, maksimum 500.
Pembicaraan soal D-dimer ini ramai minggu lalu. Yakni ketika seorang pasien Covid-19 di Semarang meninggal dunia. Justru setelah 10 hari dinyatakan Covid-nya negatif. Sudah double pemeriksaan –negatif terus.
Ternyata saya kenal almarhum: Santoso Widjaya. Umur 63 tahun. Kontraktor listrik. Rekanan PLN sejak zaman dulu.
Tanggal 9 Desember 2020, Santoso terkena Covid. Ia dimasukkan RS besar di Semarang. Tanggal 21 Desember dinyatakan sembuh. Hasil swab test-nya negatif. Lalu diswab lagi: tetap negatif.
"Suami saya itu tidak pernah sakit. Tidak pernah masuk rumah sakit," ujar Swanniwati, istrinya. "Ya baru sekarang ini berurusan dengan rumah sakit. Meninggal," kata Swanniwati.
Saya menelepon Swanniwati kemarin. Sehari setelah dia tampil di CNN Indonesia. Swanniwati menceritakan semua yang dialami suami. Kini Swanniwati memang ingin agar jangan ada orang lain senasib dengan suaminya. Yakni meninggal justru setelah dinyatakan sembuh dari Covid-19.
"Pokoknya memeriksakan D-dimer itu penting. Biar pun sudah dinyatakan sembuh dari Covid. Bisa saja masih terjadi pengentalan darah," ujar Swanniwati.
Itulah yang dialami suami Swanniwati. Sang suami sebenarnya minta pulang tanggal 22 Desember itu. Dokter juga sudah membolehkan. Tapi sang istri minta agar sang suami tidak perlu pulang dulu. Bereskan dulu sakit lain akibat Covid.
Kebetulan, tanggal itu, Swanniwati sendiri masih di rumah sakit. Dia sengaja opname satu minggu. Dia pilih opname di rumah sakit di luar kota Semarang. Di Mranggen. Masuk Kabupaten Demak, sebelah timur Semarang.
Swanniwati pilih rumah sakit itu karena kenal pemiliknya. Sang teman sebenarnya tidak menyarankan Swanniwati opname. Keadaannya baik. Tidak ada keluhan. Tapi dia ingin lebih sehat. Setelah suami dan dua anaknya terkena Covid.
Tanggal 22 Desember itu, ketika Santoso dinyatakan sembuh dari Covid, Swanniwati opname di Mranggen. Lalu sang suami dipindah ke lantai atas untuk pasien yang non-Covid.
Ia ingin dokter menyembuhkan sisa infeksi di paru-parunya akibat Covid.
Keesokan harinya, Santoso justru sulit bernafas. Tiba-tiba saja. Sampai harus dimasukkan ke ICU non-Covid. Dipasangi ventilator.
Setelah diperiksa, D-dimer Santoso ternyata di level 6.000. Santoso tidak pernah lagi keluar dari ICU. Sampai ia meninggal dunia tanggal 1 Januari, tepat di tahun baru 2021.
Ia berstatus bukan meninggal karena Covid. Juga bukan karena paru-paru. Tapi karena jantung. Jantungnya berhenti. Ada sumbatan D-dimer di dalam jantung itu.
Saya tidak bisa mendapat angka ini: berapa D-dimer Santoso saat dinyatakan sembuh dari Covid itu. Istrinya belum siap dengan angka itu, masih di tangan anaknya.
Swanniwati sendiri seorang pengusaha herbal. Ia menjual ramuan dari Kalteng dan Tiongkok. Kakeknya Tionghoa kelahiran Tiongkok. Neneknyi orang asli Dayak, Kalteng.
Orang Semarang juga mengenal Swanniwati sebagai orang yang bisa menghilangkan tahi lalat. Dengan ramuan itu. Sudah lebih 30 tahun ia praktik menghilangkan tahi lalat di Semarang.
"D-dimer memang menakutkan para dokter di ICU Covid," ujar Prof Dr Med Puruhito, dr SpB TKV, ahli bedah jantung terkemuka dari Unair Surabaya.
Apalagi keberadaan detail D-dimer masih terus diselidiki. Demikian juga bagaimana mengatasinya.
D-dimer adalah munculnya ''cendol-cendol'' di dalam darah. Lapisan protein tertentu dalam darah menyatu dengan ''teman sejenis'' sehingga membentuk gumpalan kecil-kecil.
Saking kecilnya, gumpalan itu tidak terlihat oleh mata. Bisa dilihat oleh mikroskop. Gumpalan itulah yang saya sebut cendol.
Itu bukan sekadar pengentalan darah. Beda. Kalau ''pengentalan darah'' kesannya seluruh darah itu mengental. Bukan itu. Darah penderita Covid memang bisa mengental. Bisa juga tidak. Tapi di darah yang tidak mengental pun bisa muncul ''cendol-cendol-kecil'' itu. ''Cendol-cendol'' itu ikut mengalir di dalam darah. Bisa menyumbat.
Saya bukan dokter. Maafkan kalau penggambaran itu salah. Anggap saja tulisan ini tidak ada.
''Cendol'' yang ikut mengalir di dalam darah itulah yang berbahaya. Apalagi kalau jumlahnya banyak. Ia bisa berhenti di jantung dan menyumbat saluran darah di jantung. Apalagi kalau ''cendol-cendol'' lainnya ikut nimbrung di situ.
Kalau cendol itu berhenti di saluran darah di otak, terjadilah stroke. Kalau berhenti di paru terjadilah sesak napas. Dalam hal Santoso tadi, ''cendol'' itu berhenti di jantung.
Waktu saya boleh keluar dari RS Premier Surabaya lalu, D-dimer saya masih 1.130. Masih sangat tinggi dari normalnya, maksimum 500.
Pagi ini saya akan test D-dimer lagi. Saya harus hati-hati. Jangan-jangan naik –meski harapan saya turun.
Sejak keluar dari rumah sakit itu saya terus minum obat Xarelto 15 mg. Satu kali satu hari. Itulah obat mengurai ''cendol''.
Kekuatan obat Xarelto itu sama dengan yang saya terima waktu opname. Hanya saja, saat itu, obatnya disuntikkan di kulit perut. Sehari dua kali suntik. Sedang yang ini bentuknya pil.
KOMENTAR ANDA