MOM guilt didefinisikan sebagai rasa bersalah atau perasaan kurang mampu dalam mengasuh anak yang dirasakan seorang ibu.
Selama ini, mom guilt identik dengan ibu bekerja. Perasaan tersebut biasanya muncul ketika ibu memutuskan kembali bekerja setelah masa cuti melahirkan berakhir. Ibu merasa bahwa bekerja membuatnya seperti tidak mempedulikan si buah hati.
Tanpa disadari, rasa bersalah itu bisa sangat mengganggu keseharian seorang ibu. Ia bisa menghabiskan energi untuk mempertanyakan semua keputusan yang diambilnya cenderung menyalahkan diri sendiri.
Ternyata mom guilt tidak hanya dialami masyarakat biasa. Mengutip Hello!, Kate Middleton, dalam podcast bertajuk Happy Mum Happy Baby, mengatakan bahwa ia pun mengalami mum guilt. Menurut Kate, seorang ibu pasti berbohong bila mengatakan tidak pernah mengalaminya.
Kate mengakui ia kerap mengalami mom guilt karena ia ingin memberikan yang terbaik bagi ketiga buah hatinya tapi kerap merasa gagal melakukannya. Menurut Kate, mom guilt tidak hanya monopoli ibu bekerja. Seorang ibu rumah tangga pun bisa mengalaminya karena menyeimbangkan waktu untuk keluarga, diri sendiri, dan aktivitas lain tidaklah mudah.
Terlebih lagi di masa pandemi sekarang ini, para ibu dituntut semakin pandai dalam 'berakrobat'. Dengan segala kegiatan terpusat di rumah, ibu harus mampu memaksimalkan dirinya untuk memastikan setiap anggota keluarga sehat, produktif, dan bahagia tanpa harus kehabisan energi. Kondisi tersebut tentu membuat ibu makin sulit keluar dari jerat mom guilt.
Bahaya Mom Guilt
Psikoterapis klinis Nicole Grocki menjelaskan kepada Mindful Return bahwa mom guilt bisa timbul karena tekanan dari keluarga, lingkungan, juga media yang kerap mengatur apa yang seorang ibu boleh lakukan dan apa yang tidak. Banyak pendapat yang menghakimi apakah kita termasuk ibu yang baik atau ibu yang buruk.
Contohnya bagi ibu yang memutuskan untuk kembali bekerja meninggalkan bayinya. Ibu tahu bahwa menyusui langsung adalah sebuah prioritas yang dianggap terbaik dalam urusan menyusui. Di dalamnya ada proses bonding yang terjalin antara ibu dan anak.
Karena itulah memompa ASI di kantor seolah menjadikan ibu mengenyampingkan kebutuhan bayi. Ibu seolah mementingkan mengejar karir daripada kesejahteraan anaknya. Tak jarang, beban pikiran itu malah membuat ASI sulit keluar saat dipompa. Akhirnya, ibu yang merasa bersalah karena tidak bisa lama menyusui akan berpendapat bahwa dirinya adalah ibu yang buruk.
Mom guilt menyeret ibu untuk menjadi kritikus terburuk bagi dirinya sendiri. Tanpa disadari, ibu kerap membandingkan dirinya dengan ibu lain yang sukses dalam hal yang ia gagal melakukannya. Padahal semua orang pasti memiliki masalah dan perjuangan masing-masing untuk mencapai kondisi ideal mereka.
Mom guilt bisa datang dalam berbagai bentuk gangguan mental. Bisa berupa depresi, kecemasan, kemarahan, kelelahan, dan kekhawatiran yang tak habis-habisnya. Bisa pula ditandai dengan pikiran-pikiran negatif yang lambat laun menggerus kepercayaan dan keyakinan diri ibu.
Selain itu, mom guilt juga bisa memicu ibu untuk menjadi overdoing dan overworking atau bahkan perfeksionis. Ibu berpendapat bahwa semakin banyak yang bisa dikerjakan untuk melupakan mom guilt, perasaan ibu bisa membaik. Padahal, mengerjakan terlalu banyak hal dan mencoba keras untuk tampil sempurna hanya menghasilkan keletihan lahir dan batin.
Ibu juga berusaha membuktikan diri bahwa ia adalah ibu yang baik dengan memanfaatkan media sosial. Ia selalu mengunggah foto-foto yang hanya memperlihatkan momen terbaik anaknya untuk membuktikan pada dunia bahwa ia tidak pernah kehilangan waktu bersama buah hatinya.
Terakhir, mom guilt pun bisa menyebabkan ibu kecanduan sesuatu, yang dianggapnya bisa melarikannya dari rasa bersalah. Misalnya saja, ibu menjadi boros karena menutupi mom guilt dengan gemar berbelanja online, atau mengalami ketergantungan obat-obatan penghilang depresi.
Keluarlah dari rasa bersalah!
Menurut Nicole, ada 3 (tiga) hal yang harus dilakukan ibu untuk menghempaskan mom guilt dari dirinya.
Pertama, Nicole mengutip tulisan Brené Brown, seorang peneliti sekaligus terapis, bahwa empati adalah penawar dari segala perasaan bersalah dan malu. Ketika mulai merasa stres, berhentilah sejenak dari segala kesibukan dan mulailah bernapas dengan mendalam. Fokuslah pada diri sendiri. Rasakan bagian tubuh yang terasa kaku dan tegang lalu cobalah untuk menenangkan dan melembutkannya.
Tak perlu malu untuk mengeluarkan berbagai perasaan yang berkecamuk di dada, dan cobalah untuk menerima kenyataan tersebut. Tak perlu takut untuk menangis. Kita menyadari bahwa segala perasaan tersebut adalah normal, karena menjadi ibu adalah sebuah proses, transisi, dan perjuangan terbesar dalam hidup seorang perempuan.
Kedua, mengubah sudut pandang. Daripada mengatakan "saya tidak boleh bekerja", ibu bisa mengatakan "saya menjadi ibu yang lebih baik dengan bekerja".
Banyak ibu berhasil menyeimbangkan perannya di rumah dan di kantor. Ibu menjadi sosok yang menghargai waktu, mampu memilah mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak perlu diprioritaskan, makin cerdas mengelola finansial keluarga, dan tidak menyia-nyiakan kebersamaan dengan si buah hati.
Ketiga, membangun ketahanan diri. Untuk bisa memerangi mom guilt, ibu harus memiliki ketahanan diri yang mumpuni. Jadilah sehat dan bugar secara fisik dan mental. Makanlah makanan sehat, banyak bergerak, serta tampillah segar dan cantik. Ibu juga bermeditasi dan banyak berkomunikasi dengan keluarga serta teman-teman yang mendukung.
Saatnya fokus pada diri sendiri. Kita harus mampu berpikir positif dan melakukan yang terbaik. Jangan merasa bersalah selama kita dapat mempertanggungjawabkan setiap keputusan yang kita ambil.
Ingatlah, menjadi ibu adalah anugerah dari Allah. Segala perjuangan ibu insya Allah menjadi ladang amal yang berbuah kebaikan di masa depan.
KOMENTAR ANDA