KONON kabarnya, marah kepada suami atau istri itu hal yang biasa, namanya saja rumah tangga. Katanya sih begitu!
Kalau pun kita berpegang dengan pendapat ini, tetap saja marah itu sejatinya tidak asyik, apalagi marah yang meledak begitu saja tanpa sebab musabab yang terang. Amarah model begini pun tidak butuh pemicu apapun, karena giliran marahnya meledak toh segalanya akan terlihat buruk, jelek dan salah.
Mari kita renung-renungkan, sejauh ini marah model apa yang pernah kita tujukan kepada suami atau istri?
Akan lebih menarik jika kita pun menelaah kapan saja waktu-waktu amarah itu meledak?
Bilakah masanya segala hal jadi tampak salah di mata kita yang membuat marah itu berkobar-kobar?
Marilah kita jujur!
Amarah yang tak jelas ujung pangkalnya itu meledak ketika kita sudah eneg dengan beban hidup, lalu muntah dalam bentuk yang buruk, yakni amarah.
Wasiat Nabi Muhammad agar umatnya jangan marah, hanya dapat diaplikasikan dengan cara memotong segala jalur yang dapat berujung kemarahan.
Saat kita kelelahan lahir maupun batin, itulah masanya emosi menjadi tidak lagi terkendali.
Siapa sasarannya? Ah, ternyata marah sama atasan atau rekan kok tidak berani ya? Dan, begitu pulang ke rumah maka meledaklah amarah itu. Alasannya jadi banyak; sandal yang tak rapi, periuk yang menghitam, lampu yang padam, coretan di tembok rumah, gulai yang kurang garam. Banyaklah pokoknya!
Tapi semua itu bukanlah alasan sebenarnya dari amarah itu. Penyebab marah tersebut adalah jebolnya pertahanan diri kita dalam menahan luapan emosi.
Kasihankan suami atau istri dan juga tentunya anak-anak kita!
Dari itu, ukurlah kemampuan diri. Hentikanlah kesibukan apapun, sebelum tubuh sampai ke kondisi lelah. Istirahatlah! Sebelum batin kita sampai ke batas kemampuannya menahan luapan emosi.
Berulang-ulang kali Nabi Muhammad mengingatkan agar kita tidak marah, laa taghdab, jangan marah!
Di antaranya yang tertera dalam hadis:
Dari Abu Hurairah Ra. bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw., “Wasiatilah aku.”
Nabi bersabda, “Jangan marah!” Beliau mengulanginya beberapa kali dan bersabda, “Jangan marah!” (HR. Bukhari)
Musthafa Dieb Al-Bugha & Syeikh Muhyiddin Mistu dalam kitab Al-Wafi: Syarah Hadits Arba'in Imam An-Nawawi menerangkan, inilah pengarahan Rasulullah yang ditujukan kepada sahabat yang minta nasihat dari beliau. Rasulullah memberikan wasiat kepadanya sesuai dengan yang diminta dengan kalimat yang singkat dan padat, menghimpun semua kebaikan dan menolak semua kejelekan, “Jangan marah!”
Intinya, jika mampu menahan marah, maka pada diri kita akan terkumpul segala kebaikan dan tertolak berbagai macam keburukan, demikianlah wasiat dari nabi Muhammad.
Sekali pun seringkali melarang marah, tetapi Rasulullah juga tercatat pernah pula marah. Apakah beliau mendua antara kata dengan sikap?
Tentulah tidak demikian kesimpulannya, mari kita simak dulu contoh beliau marah:
Diriwayatkan dari Abu Mas'ud, seorang lelaki datang dan berkata, ”Ya, Rasulullah! Demi Allah, aku meninggalkan shalat Subuh berjamaah karena si Fulan memperpanjang shalatnya ketika ia mengimami kami.”
(Perawi hadis ini menambahkan), “Hingga waktu itu aku belum pernah melihat Rasulullah Saw. sedemikian geram ketika memberikan nasihat.
Nabi Saw. kemudian berkata, “Sebagian orang di antara kalian menyebabkan sebagian yang lain tidak menyukai perbuatan baik. Maka siapa pun di antara kalian memimpin orang-orang mengerjakan shalat maka pendekkanlah, karena di antara mereka ada orang yang lemah, uzur dan sebagian mereka punya urusan mendesak.”
Apabila yang disakiti orang lain adalah diri pribadinya, Nabi Muhammad menahan diri agar tidak marah. Lain halnya kalau hak-hak agamanya yang dirugikan, luar biasa kemarahan beliau.
Imam yang memperlama bacaan shalat hanya akan membuat para jamaah lari dari shalat berjamaah. Jelas Rasul marah karena perbuatan imam itu membahayakan bagi agama.
KOMENTAR ANDA