Sementara saat berdakwah di Thaif, beliau dilempari batu hingga berdarah-darah. Bukannya marah, Nabi Muhammad malah mendoakan ampunan buat mereka.
Nah, jika kita berpegang dengan pendapat marah antara suami istri itu adalah biasa, maka marahlah sesuai dengan konsep Rasulullah, yakni ketika pasangan telah menyalahi hak-hak agama.
Suami mengabaikan kewajiban nafkah, misalnya, hingga anak-anak dan istrinya terlantar, maka di sini bukan lagi biasa malah seharusnya istri marah. Kasus lain, misalnya, istri yang melalaikan shalat sudah sepatutnya suami marah karena telah membahayakan agama.
Tentunya sebelum marah itu dipandang perlu, maka penuhi dulu tahapan persuasive, dengan membicarakannya dengan baik terhadap pasangan atau menasihatinya dengan penuh kasih.
Jadi marah itu ada konsepnya, tidaklah asal meledak saja.
Untuk hal-hal yang tidak melanggar prinsip-prinsip agama, dalam rumah tangga Rasulullah mengajarkan agar menahan amarah, begitu pula dalam kehidupan bersosial masyarakat.
Umar bin Khattab pernah curhat kepada Rasulullah, dia marah karena istrinya telah berani membantah suami. Kisah ini disunting oleh Hamka yang menceritakan dalam Tafsir Al-Azhar:
“Allahu akbar! Kalau engkau ingat kita-kita Quraisy ini, ya Rasul Allah! Selama ini kita bisa menguasai istri-istri. Tetapi setelah berada di Madinah, kita dapati orang di sini diatur istrinya, maka istri-istri kita pun kepindahan dari perangai istri-istri mereka.”
“Suatu kali aku sendiri marah kepada istriku. Tiba-tiba aku disanggahnya, lalu aku bertambah marah, mengapa dia telah berani membantah aku. Istriku membantah lagi dengan katanya, 'Mengapa engkau marah kepadaku karena membantah katamu, sedangkan istri-istri Rasulullah sudah ada yang membantah beliau.”
Nabi Muhammad tersenyum. Dan Umar bin Khattab pun menyadari ternyata di antara istri yang berani membantah beliau itu di antaranya adalah Hafshah, tak lain putri Umar sendiri.
KOMENTAR ANDA